Akhir Dari Penderitaan






Hari itu (31 Desember 2018.) , aku masih ingat sekali. Ketika rasa takut terus merubung, walau sudah berpuluh menit diri ini bersimpuh padanya. Tangis dan keraguan masih terus melekat. Sore yang muram, sunyi, kelam. Aku seorang diri merasakan semua itu.

                Seingatku, seumur hidup dua puluh satu tahun terakhir. Tak pernah sekalipun diriku bersimpuh dengan kadar pasrah tinggi, dan memohon pada Allah agar doaku terkabul.

                Di atas sejadah, aku memohon agar Allah lekas menyembuhkanmu Bu. Melepaskanmu dari rasa sakit. Untuk kembali padaku, pada kami sebagai Ibu yang meskipun tak sempurna namun selalu didambakan kehadirannya.

                Namun, ketika pada akhirnya Allah sama sekali tak mengabulkan doa itu. Aku berontak, aku benci padanya, kenapa Allah tak mendengar permohonanku? Kenapa! Bukankah Allah maha mendengar?.

                Alih-alih mendapat kabar pemindahan Ibu ke Rumah sakit yang lebih canggih, aku justru mendapat kabar yang membuat seisi duniaku hancur berantakan. Tak pernah kubayangkan sekalipun perasaan itu akan datang menghantamku dalam sekali pukulan.

                Ibuku, meninggal... Dirimu pergi meninggalkanku.

                Lalu sesuatu seperti tengah merasukiku, aku mencengkeram dada karenanya, menangis sejadinya, menggapai apapun yang bisa menopang tubuhku sebab sang kaki tak sanggup lagi menumpu massa.

                Seumur hidupku juga, tak pernah sedetikpun terbersit Ibu akan meninggal secepat itu. Karena bagiku, impian terbesar adalah membahagiakan Ibu dimasa sekarang, dan masa depan kelak. Aku bahkan sudah membuat rencana, akan hidup seperti apa bersamanya nanti. Beli camilan kesukaan Ibu sepulang kerja, memberinya uang masak, memberinya baju baru, mengajaknya nonton, mengajaknya wisata kuliner, apapun itu. Akan kulakukan, tulisku dalam buku harian rencana masa depan.

                Ketika pertama kali mendengar kabar kematianmu, Bu. Aku merasa langsung terjerumus kedalam ceruk raksasa yang kubuat saat itu juga. Namanya, ceruk penyesalan. Aku terjatuh secara dramatis kedalamnya, menggelepar, dan kemudian tenggelam sampai kedasar.

                Andai saja, aku tahu semua itu akan terjadi. Aku akan berbaik hati padamu. Takan kubiarkan dirimu merasa kesepian, sakit hati, ketakutan, kesakitan. Akan kulakukan semua perintah dan keinginanmu.

                Tapi, ya Allah. Dimana kelayakanku sebagai seorang anak? Bahkan ketika Ibuku sedang terbaring sakit, tak berdaya, dengan selang inpus dan perangkat medis membelit tubuhnya. Aku yang pengecut ini justru lebih memilih melarikan diri, diriku tak pernah memasuki ruang perawatannya. Bahkan untuk sekadar menggenggam jemarinya, itupun tidak. Apalagi  untuk bilang bahwa diriku sangat mencintainya.

                Rasanya, ingin langsung menghambur dalam pelukannya. Untuk menjelaskan bahwa alasanku tak melakukan semua itu, bukan karena aku tak peduli.

“Bu, sungguh. Hatiku teramat sakit melihatmu menderita dan tak berdaya seperti itu.”
Jangankan, kondisimu yang begitu Bu. Melihatmu berjalan tergopoh-gopoh mencari kepastian hidup, lantas malamnya terjerat lagi oleh lamunan-lamunan mengerikan tentang esok hari yang juga masih tidak pasti, tidurmu yang tak nyenyak karena terpotong terus menerus oleh napasmu yang pendek-pendek. Aku sudah tak sanggup, Bu !

 Ah, andai saja aku menyadarinya jauh sebelum semua itu terjadi. Ternyata  dirimu sudah sejak lama menahan sakit, menyembunyikannya. Tapi apa yang kulakukan, aku terus protes kenapa harus aku yang hidup bersamamu dan melihat penderitaanmu itu. Aku hanya merepotkanmu, membuatmu mencuci baju-bajuku, membuatmu jengkel karena kebiasaan urakanku, membuatmu kecewa karena kata-kata pedas yang keluar dari mulutku ini, membuatmu menahan  napas karena sakit hati sebab tindakanku, membuatmu mendesah berat karena kehidupan pendidikanku yang begitu-begitu saja. Maafkan aku, Bu.

Hari pertama, aku masih benci pada Allah. Juga padamu yang tega sekali pergi tanpa pamit padaku. Seenak hati meninggalkanku seorang diri di muka bumi yang kejam ini. Aku harus bagaimana bu, separuh nyawaku ikut pergi bersamamu. Seumur hidupku lagi, tak pernah diri ini merasa sakit yang amat sangat selain dari ditinggal pergi olehmu.

Bu, tak ada yang bisa mengibaratkan rasa sayang dan cintaku padamu. Seluas samudera? Tentu tidak, lebih luas dari itu. Setinggi angkasa? Tidak juga, bahkan lebih tinggi daripada itu. Sedalam lautan? Apalagi itu, masih dangkal.

Tapi sekali lagi, maaf bu. Aku hanya berakhir sebagai pecundang bagimu. Hanya menjadi benalu. Tak pernah membuatmu bangga. Aku memang pecundang, Bu. Sampai akhir khayatmu, aku tetap begitu.

Hari demi hari tanpa kehadiranmu, kian menyiksa. Rasanya aku sedang menuju kegilaanku atas rasa kehilangan dan penyesalan itu. Malam-malam yang menyesakan, menyiksa, dan  seolah akan membunuhku dalam diam.

Yang paling sulit dari kehilanganmu adalah rasa penyesalan. Aku terus dihantui perasaan itu, Bu. Jika seandainya begini, jika seandainya begitu. Menyesali perbuatan burukku padamu. Yang sayangnya, sudah tak bisa diperbaiki walau sekalipun aku menangis darah meminta pada Allah agar diberi kesempatan itu.
Jujur, sampai hari kesekian. Aku belum mengikhlaskan kepergianmu Bu. Aku masih marah pada Allah. Hingga kemudian, kala ku urutkan lagi semuanya. Ku cari maknanya satu persatu, dan kemudian kucerna baik-baik. Semua itu akhirnya terjawab... Akhirnya aku menemukan jawaban atas kepergianmu.

Oh, begitu ya Bu. Ketika hari dimana dirimu menyerah dan lebih memilih pulang kepadanya. Akhirnya aku menemukan jawabanku sendiri,  saat itu mungkin Allah bukan tidak mendengar dan mengabulkan doa-doaku. Allah justru lebih sayang padamu, dan memilih untuk mengabulkan doa-doamu. Bu, barangkali dirimu sudah menyerah ya? Tak bisa bertahan lagi melawan rasa sakit dari penyakitmu itu? Dari kehidupanmu juga ya Bu? Lantas dirimu memohon pada Allah agar segera mengakhiri semuanya? Benar begitu Bu? . Jika benar begitu adanya. Maka aku ikhlas, Bu. Aku akan berterima kasih banyak pada Allah karena sudah mengabulkan doa-doamu. Terimakasih karena Allah akhirnya melepaskanmu dari segala penderitaan, rasa sakit, dan ketidakpastian hidup.

Sejak itu, aku mulai bisa menerima semuanya. Walau terkadang, terasa berat dan depresif. Lihatlah Bu, aku yang selama ini dirimu kenal sebagai anak yang shalatnya bolong-bolong. Kini sudah agak rajin, tak pernah lupa lagi berdoa agar Allah mau memaafkan dosa-dosamu, memberimu rahmat dan cahaya alam kubur. Akan kubuatkan syurga untukmu, Bu. Sehingga kita bisa bertemu, dan tinggal lagi disana. Tanpa penderitaan seperti saat di dunia. Tunggu aku ya, Bu.

Tapi...

Masalah baru muncul. Di beberapa kesempatan, aku selalu menangis. Menyesal dan terus menyesal. Penyesalan itu masih menjeratku, Bu. Bahkan semakin hari, rasanya kian kuat. Begitu menyiksa, dan rasanya aku hampir gila dibuatnya.

Penyesalan-penyesalan itu selalu berubah menjadi bunga tidur. Beberapa malam, aku sempat bermimpi tentangmu. Dalam mimpiku, dirimu hadir lagi.

Malam pertama, dirimu dengan pakaian dinas sekolah khasmu. Datang bersama senyuman, bertandang untuk mengajak anak-anak ( cucu kesayanganmu ) main. Begitu indah senyumanmu itu, sampai rasanya aku ingin sekali menghambur dan memelukmu erat. Tapi Bu, kok tidak bisa ya? Bahkan dirimu seolah tak melihatku, dan aku tak bisa berbuat apapun. Hanya memandangmu dalam diam, dan... Aku terbangun. Kemudian menangis.

Malam kedua, dirimu juga hadir dalam mimpiku lagi. Tapi bedanya, aku mengalami hal lebih aneh. Jadi begini Bu, ceritanya aku tidur kemudian bermimpi, nah dalam mimpi itu aku bermimpi lagi. Mimpi di dalam mimpi. Sosokmu hadir selayaknya Ibu yang kami kenal, menyiapkan banyak hal untuk keperluan anak-anakmu. Bedanya, dalam mimpi  kali ini. Jelas sekali dirimu menyadari kehadiran kami, anak-anakmu.

Ya Allah ! ini kesempatan, suara hatiku berseru. Aku harus meminta maafmu, Bu. Sekarang juga !  Namun, aku terbangun. Tanpa sempat meminta maaf... Kemudian aku menangis lagi.
Malam ketiga. Setelah dua puluh empat hari menungggu. Akhirnya aku bisa bermimpi indah tentangmu. Begini ceritanya, Bu...

Dalam mimpi, aku melihatmu hendak pergi. Entah kemana, namun yang jelas dirimu berpakain sangat bagus, cantik, dan menawan. Semua raut penderitaan, dan rasa lelahmu tak ada lagi. Tergantikan oleh kebahagiaan tiada tara.

“ Mah, mau kemana?” Tanyaku.

“ Kesana dulu, bentar kok”

“ Aku ikut” Pintaku, yang kemudian dirimu angguki.

Aku dan Ibu pun pergi ke suatu tempat, yang ternyata adalah lapang bulu tangkis di belakang rumah cigadog. Tempat yang dulu sering kami gunakan untuk bermain bulu tangkis, waktu itu aku masih kecil. Dan Ibuku tentu masih sehat walafiat. Ibu seperti bukan Ibuku, aku tak mengenalnya. ( Dalam mimpi)

Bu, apa dirimu sebahagia itu ya? Masya Allah, mungkin aku bisa menangis haru dalam tidurku malam ketiga ini. Melihat wajahmu yang berseri, bahagia tanpa beban apapun lagi. Aku jadi ikut bahagia. Terimakasih ya Allah.
Lalu, kami pulang. ( Mungkin pulang dalam arti yang sesungguhnya, hanya dirimu Bu) Dalam mimpi, kami pulang dengan menaiki sebuah becak. Dengan aku yang duduk manja dipangkuanmu yang hangat. Ini kesempatanku ! Seruku lagi dalam hati, sebelum aku terbangun dan tak sempat lagi memohon maafmu.
Syukurlah, aku bisa melakukannya.

“ Mah, hampura abi nya loba dosa ka mamah” Kataku, dengan bahasa sunda yang tidak formal bahkan cenderung kasar untuk percakapan bersama dirimu.

Tidak ada respons. Ibu tak balik menatapmu, tidak juga melakukan kontak fisik apapun, tapi kali ini dirimu menyadari keberadaanku, tidak seperti mimpi pertama yang seperti ada portal penyekat diantara kita berdua. Aku terus menunggu... Sampai akhirnya,  dirimu mengangguk sambil berlinangkan air mata. Air matamu itu bahkan sempat jatuh menitik ke pipiku.

Alhamdulillah ! Aku langsung terbangun dengan perasaan amat lega dan bahagia, Bu. Aku menangis, tapi kali ini tangis haru dan bahagia. Apakah disana dirimu benar-benar sudah memaafkanku Bu? Terimakasih jika memang begitu.

Bu, aku tahu itu hanya sekadar mimpi. Yang boleh jadi adalah buah dari keresahan yang kubawa bersama dalam tidurku. Kenangan indah  yang terputar semasa dirimu hidup bersamaku.  Atau semua itu hanya ilusi yang kuciptakan saking beratnya menanggung penyesalan ini, atau... Benarkah dirimu meminta kepada Allah agar menghadirkanmu dalam mimpiku untuk kemudian memberiku maafmu yang berharga itu? Agar aku lekas terbebas dari penderitaan yang selama dua puluh lima hari terakhir menjerat dan menyiksaku tiada ampun? Jika memang begitu, terimakasih banyak Bu. Terimakasih, aku sungguh mencintaimu.

Bu, semoga dirimu tenang bersama cahaya dan rahmat dari Allah.

Bu, disini aku akan berusaha sekuat tenaga menjadi manusia berkualitas sekaligus anak shalehah untukmu.

Bu, disini aku akan terus mengirimkan doa-doaku untukmu.

Bu, jangan lupakan aku. Mari kita bertemu lagi di istana syurganya.

AAMIN ...


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Film The Gangster, The Cop, The Devil (2019) ; Adaptasi Kisah Nyata Terbaik

Review Film The Vanished (2018) ; Kisah balas dendam terniat

Review Film METAMORPHOSIS (2019) ; Tipu Muslihat Lelembut Khas Korea