Sebuah Momentum Langka
Suatu malam, di
antara dingin dan sunyi sisa-sisa kehidupan. Aku bersama kakak, terlibat dalam
sebuah percakapan tentang 'apa itu rasa
sakit' .
Kami tenggelam
dan larut didalamnya, sesekali terisak, sesekali mengusap ingus, sesekali
mengatur napas yang sudah mulai tak beraturan.
Setelah lama
sekali, malam itu akhirnya kami membicarakan lagi banyak hal. Terkhusus tentang
Ibu. Terungkap banyak hal tentang kenangan semasa beliau masih hidup, sampai
pada bagian dimana sebanarnya kami juga tak sanggup mengungkapkan apa yang ada
di dalam hati. Tentang jumat sialan itu, tentang klinik itu, tentang rumah
sakit itu, dan... tentang kakak yang menjadi saksi terakhir hembusan napas
beliau.
Aku mengigit
bibirku, tangan yang ikut bergetar seolah hendak merenggutku untuk mau kembali pada
saat-saat paling menyakitkan dalam hidupku tersebut.
Tapi malu ah,
alhasil kami menyembunyikan perasaan sedih satu sama lain. Memalingkan ke
topik-topik yang sekiranya dapat mengalihkan kecanggungan akibat kesedihan yang
tetiba merangsak.
Itu adalah kali
pertama aku menyimak sesuatu yang selama ini justru kutampik dan berusaha
sekuat tenaga hindari. Tentang musibah yang menimpa seseorang, sulitnya
beristiqomah dalam beribadah, dan tentu saja kebaikan-kebaikan setelah
berhijrah.
Yang paling
menyakiti hati, Kakak ku terus menerangkan pengalaman spiritualnya tentang
menjadi orang baik dan shalehah itu ternyata sulit. Ada juga pembahasan mengenai para ustad-ustad
yang rupanya masih takut akan dosa-dosa dan kematian. Mendengar itu semua,
hatiku menciut. Seketika jutaan dosa yang telah kuperbuat tersibak nyata
bersamaan dengan penyesalan atas kebodohanku yang sudah melakukan itu semua.
Namun, inti dari
percakapan kami yang paling membuatku merinding sekaligus ingin rasanya
cepat-cepat bertaubat adalah :
“ Setelah Ibu kami
meninggal, segala cobaan dan ujian hidup terasa bukan apa-apa lagi dimata kami.
Karena kami sudah menghadapi hal paling menyakitkan lebih dari itu semua.”
“ Masih ada
seseorang yang mencintai kita dengan tulus lebih dari kasih sayang yang
diberikan oleh seorang Ibu, beliau adalah Nabi Muhammad Saw."
“ Allah telah
memilih salah satu hambanya sebagai hamba paling spesial, dengan itu juga Allah
menjamin hambanya tersebut dengan rahmat dan karunianya selama dia bisa
mengingat Allah setiap waktunya.”
“ Allah juga tidak
akan memberikan cobaan kepada hambanya tidak sesuai dengan kemampuan orang
tersebut.”
“ Semoga Allah
memberikan Ibu kami rahmat dan karunianya.”
“ Semoga kami
menjadi anak Shalehah yang senantiasa mengingat kiamat, dan kematian.”
Sungguh, dalam
hidup. Aku tak pernah terlibat percakapan dengan topik sensitif seperti itu.
Dan malam itu, aku terjerumus kedalamnya. Memikirkan banyak hal setelah
percakapan tersebut berakhir. Mendapatkan semua jawaban atas kepergian Ibu, atas segala
rasa sakit yang pernah kuderita tiga puluh hari terakhir.
Tengah malam itu,
adalah sebuah momentum langka. Dimana aku dapat bertukar pikiran dan perasaan
dengan kakak, sekaligus memikirkan hal selain duniawi. Terimakasih atas malam
yang berharga, sist, dan ya Allah.
Minggu, 27 Januari. ( Memaknai Ulang Tahun Mamah)
Wow. Super.
BalasHapusInsya Allah setiap ujian akan menempa kita jadi pribadi yg lebih kuat, tangguh dan hebat!!!
BalasHapusMeski tak bisa jdi bgian kluarga kalian,, tapi saya merasa beruntung pernah mengenal klian semua...
Kini hal yg pling berharga yg bisa kita lakukan untuk ibu adalah untain doa dri anak anaknya yg shalehah...
Terus berkaya sukmanurrizki... Miss U All