Sebuah Impian Yang Mengendap
Menurut saya, sesuatu yang pengin kita dapatkan merupakan suatu hal yang tak melulu musti diwujudkan dengan jiwa dan raga. Misalnya, orang pengin banget pergi ke suatu tempat, ya bisa jadi kalau sudah punya uang, impian itu akan lekas terwujud. Begitupun sebaliknya, kalau tidak terwujud, hanya akan ada rasa pasrah serta sisa keyakinan yang berusaha orang tersebut tanam sebagai bentuk pertahanan.
Saya menulis ini, kebetulan karena sedang berada di fase tersebut. Saya punya mimpi, yang tidak akan saya sebutkan disini. Pokoknya mimpi tersebut sangat sederhana, namun sayangnya belum bisa saya wujudkan dalam waktu dekat. Apakah saya sudah mengubur mimpi tersebut atas nama kegagalan?
Jawabannya tidak. Saya memutuskan untuk menanamkan keyakinan bahwa mungkin besok lusa mimpi tersebut bisa saya wujudkan. Mungkin tahun depan, jika tidak, tahun depannya lagi, tahun depannya lagi, dan lagi.
Saya sedih, saya merasa payah, saya merasa pecundang, saya merasa bahwa di dunia ini saya tak pantas untuk berpijak. Terlalu memalukan untuk bertahan hanya dengan berpegangan pada fantasi. Namun kemudian, ada saja cara Tuhan menjawab segala keluh kesah saya.
Semakin dewasa, entah kenapa rasanya kita sebagai manusia bisa menemukan pesan implisit dalam sebuah karya yang tak terduga. Ingin tahu saya mendapatkan jawaban dari mana? Begini jawabannya.
Buku Sang Alkemis, Paulo Choelho
Saya membaca buku Sang Alkemis karya Paulo Coelho. Secara singkat, buku ini mengisahkan cerita tentang seorang pemuda yang pada zaman dahulu kala kehilangan arah ketika dirinya tidak lagi memiliki gerombolan domba kesayangannya. Lalu dia bertemu dengan seorang penjual berlian, ketika sedang mengembara jauh dari kampung halaman. Yang menjadi sorotan, ternyata si pemilik toko berlian memiliki mimpi untuk pergi naik haji. Selama bertahun-tahun lamanya, sang pemilik menabung hartanya sebagai bekal berhaji.
Kemudian menjadi sangat pelik, ketika pemilik toko yang ditahun ke-sekian mulai menyadari bahwa dirinya kian dekat engan impiannya. Hartanya saat ini sudah lebih dari cukup untuk berangkat, bahkan setidaknya bisa melaksanakan dua kali Ibadah haji. Tetapi tebak apa yang terjadi selanjutnya.
Ternyata malah muncul sebuah keraguan di hati pemilik toko berlian tersebut, dalam hatinya ada sejumput pertanyaan. Lalu, ketika hari untuk pergi berhaji tiba, di hari-hari selanjutnya apa gerangan yang akan dia impikan? Apa yang kemudian akan dirinya tunggu dan idamkan? Tujuannya mencari nafkah dan harta, untuk apa? Sebab baginya, tak ada hal paling menyenangkan selain dari bekerja demi mencapai impiannya demi pergi naik haji.
Buku ini bagi saya sangat sulit, saya tidak terlalu menyukai latar belakang tempat dan waktu dalam cerita, saya merasa buku ini memerlukan banyak tenaga untuk menyelesaikan. Hingga kemudian, sampai pada karakter pemilik toko berlian. Nah, saya mulai mengamati bahwa “oh ternyata” inilah yang kemudian akan menjadi inti cerita.
Pada akhirnya, perasaan Bahagia bercampur dirasakan oleh si juragan berlian. Dan satu-satunya solusi adalah menerima takdir. Membuatnya menjadi mudah di kemudian hari. Hal yang paling penting dalam kehidupan adalah perasaan ikhlas, katanya.
Film Kadaisi Vivasayi
Film ini sebenarnya lebih cocok dikategorikan dalam film indie, saya gak mungkin nemu kalau tidak berdasarkan iseng menonton film India yang dari posternya, terlihat sangat bertema pedesaan, terkesan menyejukan. Dalam Bahasa India, film ini berarti adalah Petani Terakhir. Mengisahkan tentang seorang pria tua, di sebuah dusun yang mulai terjamah teknologi dan kemajuan sistim pemerintahan. Kakek itu, adalah satu-satunya petani/
Ketika saya menonton film ini, jujur kesan pertama ya biasa saja. Hampir menyerah karena ini lebih seperti documenter yang menjenuhkan. Lalu, hal menarik mulai muncul saat kakek yang menjadi karakter dalam film mulai mengalami konflik yang berat.
Ceritanya, si kakek masuk penjara karena konon dia merupakan satu-satunya petani yang enggan menjual ladangnya kepada seorang tauke besar. Yang padahal, selama belasan kali, Tauke sudah mengutus suruhannya yakni orang berbeda ketika hendak melakukan transaksi. Tapi kakek itu tetap menolak meski harga yang ditawarkan sangat tinggi. Mampu membawanya pergi dan tinggal ke Mumbai alih-alih di dusun tersebut.
Maka di bujukan kesekian, yang tentu saja saja masih gagal. Akhirnya si tauke melaporkan kakek atas satu hal yang tak dilakukannya, intinya si kakek difitnah. Dan mendekam dalam jeruji besi. Sistem dusun sudah membaik, untungnya dalam penjara, kakek dibedakan, dia tua renta dan harus dapat perawatan.
Tebak apa yang terjadi. Kakek itu terus merengek, tekanan darah tingginya naik, kadar stress dalam dirinya meninggi. Membuat fisiknya kian melemah. Jaksa penuntut umu, serta warga desa kemudian merasa iba. Mereka bertanya, sebenarnya kenapa kakek itu tidak menjual saja ladangnya kepada si Tauke, mungkin jika begitu, tauke takkan marah dan menghalalkan segala cara untuk membuatnya sengasara, kan?
Kakek itu diam, cukup lama. Seperti tidak ingin percakapannya merembet ke ranah privasi. Tetapi kemudian ia mulai bersuara, tetapi hanya mau bercerita pada salah satu pemuda kampung yang sebelum masuk penjara, pemuda itu sering mengunjunginya ke rumah guna meminta makan. Pemuda itu masih muda, tetapi sayangnya jauh lebih miskin dibanding si kakek. Pemuda itu depresi berat, dia ditinggal nikah oleh kekasihnya yang amat dicintai.
Kakek itu mulai bercerita mengenai alasan yang dipertanyakan oleh hakim dan warga, jadi begini. Menurut penuturan sang kakek, alassan dia mempertahankan ladangnya, adalah karena sepanjang hidupnya puluhan tahun tersebut. Si kakek hanya melakukan satu hal. Yakni menjadi petani. Nah pertanyaannya sekarang. Jika ladangnya dijual. Kehidupannya yang selama berpuluh tahun punya rutinitas serupa, kemudian harus bagaimana?
Bagi si kakek, ladang kebunnya secara harfiah adalah kehidupan. Jika tidak ada ladang, maka tidak ada kehidupan. Sesederhana itu, katanya. Setiap hari, ada tunas baru dalam dadanya seiring tunas tanaman yang mulai muncul di ladang. Juga lahir kecemasan besar, ketika alam tak bersahabat, ancaman akan gagal panen juga sudah sertingkali si kakek rasakan. Boleh jadi, ancaman gagal panen lebih menakutkan ketimbang ancaman dari si tauke besar yang sombong dan kasar. Tanpa kakek itu sadar, hanya ladang dan musim panen yang selama ini membuatnya bertahan hidup, bertujuan, dan intinya merawat mimpi sederhananya, yakni panen yang sukses.
Dua hal itu kemudian menyadarkan saya pada fakta bahw,a ya memang benar kalau yang Namanya manusia, jelas tidak semua mampu mewujudkan impiannya. Tetapi saya yakin, bahwa semua manusia dalam diamnya pasti selalu merawat mimpinya, sampai dikemudian hari menjadi kenyataan. Boleh jadi, itulah cara mereka bertahan hidup selama ini, bukan?
Komentar
Posting Komentar