MENGUPAS LAGU TAKUT ; ISI HATI JUTAAN MANUSIA GAGAL DEWASA
Seni adalah
sebuah hal yang tak lepas dari kehidupan manusia. Sebuah kesenian terkadang
mampu menjadi bahasa tersendiri, bagi beberapa jenis manusia yang sulit
mengungkapkan perasaannya. Seni adalah jalan keluar.
Akhir-akhir
ini, banyak musisi yang mulai bereksperimen dengan luka hatinya. Alih-alih
meruangnya di lubang tanpa dasar. Sang penyair mulai berkarya, menulis setiap
bait, menyampaikan perasaannya dengan begitu alamiah. Lagu-lagu tentang
penerimaan diri, dan bertemakan mental illness telah menghiasi industri musik tanah
air sepanjang 2021.
Febby Putri
Feat Fiersa Besari, kembali berkolaborasi dalam lagu Rapuh. Kali ini bukan tentang patah hati
dan cinta semu belaka. Keduanya, membawakan sebuah karya tentang bagaimana
caranya menerima diri. Tentang bagaimana
harus menghadapi lingkungan yang toksik. Yang terus menerus menekan kita untuk
selalu berjalan sesuai aturan budaya. Sesuai dengan apa yang seharusnya trek
pencapaian orang sukses pada umumnya.
Feby dan Bung berkata, "Tak mengapa, istirahat saja," katanya.
Lagu ini seolah dirujuk untuk
orang-orang yang hidup kurang apa adanya. Berusaha terlihat tegar, baik-baik
saja, padahal sebenarnya sedang rapuh dan butuh pertolongan. Sebuah lagu yang
amat mewakilkan jiwa-jiwa lelah dan tersesat hilang arah.
Seolah tak
cukup, kita melupakan generasi rentan depresi yang saat ini memang ternyata
jumlahnya semakin bertambah. Remaja yang lahir dari orang tua bermasalah, orang
tua yang ketat dan tak tahu bagaimana caranya mentreat anak-anaknya dengan
baik. Secara emosional, mereka sendiri sebenarnya belum siap menjadi sepasang
orang tua. Banyak penolakan terhadap diri sendiri sehingga kemudian berakibat
pada mental anak-anaknya.
Si generasi
rentan depresi inilah yang kemudian dihadiahi sebuah karya oleh seorang
penyanyi perempuan berjudul TAKUT – IDGITAF
Sebagai orang
yang sudah melewatkan phase remaja, gue
merasa ingin mendalami lagu ini dan menempatkan isi hati gue tepat disetiap
liriknya. Maka pada tulisan kali ini, izinkan gue menulis masa lalu sesuai
dengan apa yang lagu ini ungkapkan.
TAKUT – IDGITAF
Sudah di kepala dunia, harus
mulai dari mana....
Ambisiku bergejolak,
antusias tak karuan
banyak mimpi mimpi yang kan
ku kejar
Saat masih remaja,
gue merupakan salah satu siswi yang tak terlihat, sering dibully, dan ah
pokoknya tipikal karakter film biografi tokoh banget. Gue masih ingat, umur
delapan belasan, mimpi gue sangat menggebu di sebuah bidang. Kala itu gue
serius melakoni bidang bahasa, gue menjadi salah satu murid yang pandai dalam
pelajaran Bahasa Indonesia. Sempat berkonsultasi sama Guru bahasa Indonesia,
akhirnya di bangku kuliah gue malah berjodoh dengan Jurnalistik, dalam hati gue
berkata “Gakpapa, yang penting sama-sama nulis.”
Jika ditanya,
kapan sih gue begitu mencintai diri sendiri? Maka jawabannya adalah saat duduk
di bangku kuliah, semester dua. Ingat bahwa saat itu gue sering menulis hal-hal
di kehidupan sehari-hari, berkhayal dengan cara yang lebih serius, lantas
kemudian satu dua komentar positif gue dapatkan dan kantongi dengan rapi di
hati. Gue sangat bahagia.
Lila liku perjalanan....
ku terjebak sendirian
tumbuh dari kebaikan
bangkit dari kesalahan
Berusaha pendamkan bahwa...
Takut Tambah dewasa
Takut tambah kecewa
takut tak semudah yang
kukira
Pada
kenyataannya, kini gue lebih menyukai dunia Jurnalistik ketimbang sastrawi.
Alasannya, ya karena di sastra gue masih tetap payah meski sudah berjuang
mati-matian, berbeda cerita dengan Jurnalistik, gue di sana agak diliirik,
dihargai dosen, kakak tingkat, dan ada beberapa adik kelas yang menaruh respect
pada gue, bro? You know what? Itu menyenangkan sekali, loh.
Usia 20 tahunan, impian gue berubah haluan. Gue pengin jadi seorang wartawan yang berkutat di bidang sastra juga. Gue merasa sangat hidup, menemukan banyak hal baru dan lingkungan yang berbaik hati mau mendukung. Lalu kemudian, gue tiba di trek pendakian ilmu yang mulai terjal, licin, dan berbahaya. Yang kemudian membuat gue berjalan terpincang. Rasanya ingin menyerah saja. Mengetahui bahwa rasa suka terhadap sesuatu, ternyata tak bisa selalu membawa kita pada apa yang disukai itu sendiri.Gue merana. Kecewa.
Gue sulit menemukan media yang mau menaungi tulisan gue.
Beberapa berkata, tulisan gue terlalu ringan, yang lain berujar bahwa tulisan
gue terlalu kaku. Ya, intinya jelek.
Aku tetap bernapas
meski sering tercekat
aku tetap bernapas
meski tak meras bebas
Lalu, gue
berhenti menulis apapun. Fokus pada skripsi yang sialannya minta ampun. Dikasih
hati, malah minta jantung. Rasanya ingin meraup seisi dunia dan menumpahkannya
ke kubangan lava, membiarkannya terbakar bersama rasa marah dan kecewa. Gue
kehilangan percaya diri pada segala mimpi yang sempat gue tanam dalam hati. Rasa
malu dan cemas bergejolak.
Pertengahan dua lima
selanjutnya bagaimana?
Banyak mimpi yang terkubur
Mengorbankan waktu tidur
ku tak tahu apa lagi yang
kan kukejar
Pernah gak sih?
Pas ulang tahun, normalnya kan kita bahagia, mensyukuri nikmat dan kesempatan
hidup dari Allah. Tapi gue tidak, pada saat menginjak umur ke-24 kemarin. Gue
sedih nggak karuan, seharian cuma diem dikamar, nangis dan berdoa pada Allah. "Ya Allah, saya malu banget." Kata gue pada-NYA seolah berulang tahun adalah
suatu kutukan.
Percayalah, enggak
ada yang pengin telat nikah, telat pacaran. telat lulus, telat kerja, dan
segalanya yang seharusnya sudah digapai pada usia segitu. Tapi gue bisa apa
ketika gue sendiri sudah berusaha, dan tak ada hasil? Mungkin ya kurang berdoa,
kurang berusaha sekeras orang lain, kurang bersosial dan mendapatkan relasi,
kurang mencari perhatian lelaki, dan kurang segalanya ?
Maaf jika belum seturut yang
dipinta
maaf jika tak tahu arah.....
I Swear, gue
pengin kayak temen-temen yang lain. Tapi ya gimana? masa gue musti maksain
takdir yang udah Allah kasih ke gue? Gue musti maksa sesuatu yang udah
jelas-jelas takdir dari pencipta semesta? Lantas ketika itu sudah gue gapai nantinya? apa lagi? Selesaikah?
Tentu saja enggak ! bakal tercipta keluhan lain, neraka lain yang akan menanti
di ujung usia yang baru. Gue gak tahu tentang ini, rasanya ingin membutakan
diri. Pengin hidup apa adanya Tidak mendengarkan apa kata orang.
Tamatm intinya.
Aku sudah dewasa
aku sudah kecewa
memang tak seindah yang
kukira
aku sudah dewasa
aku sudah kecewa
memang tak sekuat yang
kukira
Komentar
Posting Komentar