JIKA LOVE IS LOVE, MAKA SEGGS IS SEGGS?

 




Belakangan ini, penggemar DCEU dihebohkan dengan pernyataan bahwa Batman versi terbaru akan ditampilkan sebagai seorang biseksual. Yang berarti, karakter ini bisa tertarik kepada lelaki, juga perempuan. Sebuah keputusan yang ceroboh, sih. Sebab disini kita tahu, bahwa Batman adalah superhero utama. Selayaknya Iron man di Marvel.

 Maksudnya, tidak akan menjadi masalah bila karakter biseksual itu disematkan pada hero pendukung, yang mungkin orang juga takkan terlalu banyak ngenotice dia.

Karena saya bukan anak DC, jadi pengibaratannya akan saya alihkan pada Marvel saja. Jadi gini, misalnya petinggi marvel memutuskan buat memasukan unsur LGBTQ pada proyeknya. Orang gak bakal habis pikir, jika karakter yang dipilih adalah Phastos di film terbaru mereka ; THE ETERNALS.

Siapa Phastos ini? Coba tanya? Orang bakal agak lama ngejawab, karena selain pahlawan pendukung, kedudukan phastos di Eternals juga hanya sebagai anggota saja. Bukan pemimpin utama, otak utama, pembuat strategi atau semacamnya. Hanya satu dari lima line thinker. Meskipun pada penayangannya, keputusan Marvel final pada penghapusan semua adegan intim para pahlawan.

Lain cerita kalau misalnya, Marvel mengangkat Iron man atau Captain america sebagai perwakilan komunitas  LGBTQ. Tentu saja itu akan menjadi bumerang.

Ayolah, dude. Ada banyak anak kecil yang suka sama mereka. Menjadikan kedua karakter tersebut sebagai pahlawan khayalan yang begitu menyenangkan.

Bisa-bisa, dari orientasi seksual yang dipertontonkan, kemungkinan besar bagi anak-anak untuk meniru juga menjadi lebih tinggi. Jika sudah seperti ini, akan sulit memberi pemahaman, bahwa sebaik-baiknya cinta dalam kacamata agama dan budaya sejatinya adalah jenis heteroseksual.

Tetapi sebenarnya, kampanye love is love sudah sering terjadi belakangan ini. Bukan hanya di ranah perfilman saja. Sekarang sudah gencar digaungkan lewat drama korea. Iya, benar. Drakor yang selama ini menjadi pilihan utama hiburan hampir sebagian besar orang.

Judul besar seperti, Reply 1997, Prison Playbook, Vincenzo, Itaewon Class, Sweet Munchies, Run On,  Move To Heaven, hingga yang baru saja tamat Hometown Cha Cha Cha telah memasukan unsur LGBTQ di dalamnya.

Pada dasarnya memang bukan karakter utama yang digambarkan sebagai Gay atau Lesbian. Hanya selingan dan bukan untuk konflik utama, karakternya sendiri jarang disorot. Ya, semacam bumbu penyedap saja lah.

Namun, sebenarnya. Dewasa ini, korea selatan juga sudah mulai terbuka dengan genre boyslove. Terhitung sejak tiga tahun terakhir. Judul-judul dengan genre khusus gay, sudah banyak diproduksi.

Entah harus seneng atau malah kecewa, sayangnya produk tersebut malah banyak digemari oleh remaja di dunia. Nyatanya, kampanye ini kian terbuka dan nyata ada di depan mata. Sudah berhasil, sebentar lagi akan sukses besar.  

Menurut saya, ini jelas menjadi bagian dari upaya Invasi pelaku Industri agar produk yang dijualnya dapat lebih luas diterima oleh semua kalangan. Dan yang menjadi tantangan adalah, saya sendiri sebenarnya tidak begini yakin pada tulisan ini. Jujur, saya takut salah baik secara teoritis maupun opini itu sendiri. Maka disclaimer, saya hanya menulis apa yang ada di otak dan hati saja. Bila ada salah kata dan pertentangan opini, mohon dikoreksi.

Sebenarnya Love Is Love sendiri saya nggak begitu menyalahkan, karena pada dasarnya perasaan cinta bisa tumbuh begitu saja. Kepada siapa saja, dimana saja.

      Namun yang menjadi sorotan, kampanye ini biasanya sering digaungkan oleh komunitas elgibiti yang secara konseptual sudah merusak pola hidup yang sudah Tuhan atur agar manusia bisa hidup dengan benar.

Seperti yang kita ketahui, menyalahi aturan Tuhan adalah dosa. Dan ketika itu terjadi, jangankan untuk membenarkan dan melakukan pembelaan, merasa baik-baik saja dengan kesalahan kaprah itu saja, sudah lumayan patal sih.

Baru-baru ini di Negara Thailand, yang imejnya sudah melekat penghasil komunitas LGBTQ saja kisruh perkara penolakan pernikahan sesama jenis oleh mahkamah. Bahkan untuk alasan kesetaraan hak bagi setiap manusiapun, sulit untuk diwujudkan begitu saja. Ada banyak pertimbangan yang harus diperhatikan. Salah satunya keberlangsungan populasi, jika ini disahkan, tidak menuntut kemungkinan bahwa di masa depan Thailand akan kekurangan generasi baru.

Selain itu, jangankan untuk hal yang bersifat penting. Hal sederhana saja, misalnya ketika saya menonton series boys love. Akan ada pertanyaan semacam, ketika karakter utamanya jatuh cinta, apakah dia suka sama si cewek atau si cowok? Pertanyaan yang cukup aneh, karena seharusnya kita tidak perlu berpikir untuk hal demikian.

Namun sekali lagi, jika memandang dari sisi yang lebih humanis. Memang tidak banyak bagian yang masuk, mau mengakui dirinya dengan mudah dan mulai menerima diri atas apa yang ia peroleh.

Bayangkan kita harus bersembunyi, berbohong, dan menyakiti orang di sekitar kita demi menjaga harga diri dan hal sesederhana cinta? Itu cukup melelahkan, bukan limit yang bisa manusia lakukan lagi.

      Bagi saya pribadi, jika kita sudah tidak punya batasan gender untuk mencintai seseorang. Maka kedepannya, boleh jadi kita takkan punya batasan dalam mengizinkan seseorang menyentuh kita secara privat. Asalkan manusia, gas kuy ngeng kah?

     

     

 

 

 

 

 

  

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Film The Gangster, The Cop, The Devil (2019) ; Adaptasi Kisah Nyata Terbaik

Review Film The Villagers (2019) ; Misteri Skandal Besar di Kota Kecil

Review Film 7 Alasan Mengapa The Handmaiden (2018) Begitu Memesona