Ini Tantangan Mahasiswa Jurnalistik Yang Kedepannya Belum Tentu Jadi Jurnalis
Semester baru, dosen pembimbing
teman saya mewanti-wanti agar mahasiswa yang dibimbingnya untuk bergegas mengajukan rencana penelitian.
Dan alangkah baiknya, setiap mahasiswa hendaknya meneliti fenomena yang berkaitan
langsung dengan jurusan yang diambil.
Saya langsung kikuk mendapati bahwa
reaksi teman-teman saya nampak agak sedikit linglung. Sebab meskipun telah
mengenyam delapan semester penuh. Faktanya, mereka tetap belum terorientasi
pada seluk beluk dunia Jurnalistik sepenuhnya.
Bahkan tak
jarang, kami lupa beberapa materi yang pernah Bapak dan Ibu dosen sampaikan
tempo semester. Istilah kasarnya, ya tentu saja sehabis bebas dari ruang
kuliah. Ilmu beserta antek-anteknya- Tugas – langsung
Apalagi, bila dirunut kembali. Saya
dan teman-teman memang sudah jauh-jauh hari membahas perkara tugas akhir khas
mahasiswa ini. Diantara kami, memang ada yang ingin memokuskan diri mengambil
penelitian yang berbau Kejurnalis-jurnalistikan. Termasuk saya pribadi waktu itu.
Pikir saya, memang untuk apa
mengambil Jurusan Konsentrasi Jurnalistik bila ujung perjalanannya kita malah
berakhir dengan hanya membuat skripsi tentang Ilmu Komunikasinya saja?
Tetapi nasi sudah menjadi bubur.
Yang telah terjadi, tentu tak dapat diulang kembali. Alhasil, kami tetap pada
rencana masing-masing. Tak ambil pusing dengan kesan Jurnalistik yang hilang
ditengah embel-embel Mahasiswa Jurnalistik.
Meski sebenarnya, saya merasa bahwa
sekarang ini. Trend menjadi Wartawan dadakan atau paparazi telah
merajelala nyaris di seluruh lapisan masyarakat. Tanpa Jurnalis kompeten atau
mahasiswa Jurnalistik sekalipun, Infomasi terbaru bebas melenggang sebagai
bahan baku tinjaun para warganet.
Pada bagian ini, jelas media
meanstream kalah pamor. Warganet cenderung suka hal-hal yang dilebihkan
dibanding fakta yang dikemas terlalu serius dan datar-datar saja.
Dengan demikian, trend story
telling sebuah kisah, merekam selebritas tanpa izin, merekam pristiwa dan
insiden sembari menjelaskan keadaan bak reporter, serta tindakan tidak sesuai
kaidah lainnya secara tidak langsung akan dianggap sebagai sebuah realitas dan
kebenaran yang pasti.
Padahal, para
pelakunya belum tentu menyajikan fakta dan data yang sesuai. Alias, besar
kemungkinan bahwa apa yang mereka sampaikan kepada warganet adalah sesuatu yang
belum jelas kebenarannya seperti apa.
Tetapi, warganet juga tidak salah
sepenuhnya. Karena banyaknya media yang terlalu dangkal dalam mengemas sebuah
informasi. Atau bahkan terlalu melebih-lebihkannya, mengejar unsur sensasional
ketimbang motto Jurnalis yang harus sebenar-benarnya dalam menyampaikan
informasi yang benar.
Maka bukan hal
mengejutkan bila kebiasaan diatas justru berakhir menjadi sebuah budaya baru.
Yang mau tak mau menjerat warganet yang terlibat untuk terus menikmati
konten-konten dari orang yang sudah seperti Wartawan dan Paparazi tadi.
Berbicara tentang budaya, si budaya
ini bolehlah kita artikan sebagai sebuah konten yang diproduksi oleh media.
Sedangkan media itu sendiri merupakan salah satu saluran yang berfungsi untuk
menyampaikan si konten (budaya ) itu
tadi.
Berbekal dari fakta tersebut. Mungkin, tinggal
menghitung tahun kita akan sampai pada dunia yang amat canggih lagi, dimana
orang-orang yang bekerja di bidang seharusnya selalu akan kalah saing dengan
sesuatu yang lahir hanya dengan bermodalkan tekad dan mengikuti budaya-budaya
yang akan langgeng untuk diminati.
Orang-orang seperti itulah yang
kemudian menjadi tantangan baru bagi kami mahasiswa Jurnalistik. Setelah sadar
bahwa tanpa itupun, kami sebenarnya telah memiliki tantangan yang menampar
keadaan.
Kami memang mahasiswa Jurnalistik, tapi
benarkah dimasa depan kami akan menjadi Jurnalis? Sebuah pemikiran yang hinggap
di masa-masa ketika seorang mahasiswa merasa salah Jurusan.
Komentar
Posting Komentar