REDUM
Malam Selasa, 21 Maret 1998.
01 : 36
Seperti malam yang sudah berlalu,
aku kini tengah menatap dinding kamar, sesekali beralih ke langit-langit.
Berharap menemukan sesuatu untuk menghentikan otak agar dia lekas mati. Meski
sebenarnya, beberapa obat membuatku mengantuk, namun malah membawaku pada
mimpi-mimpi mengerikan dibawah alam sadar.
Aku selalu tenggelam dalam
pikiranku sendiri. Namun malam ini rasanya berbeda, seolah besok akan berakhir.
Tidak, bukan tentang kematian. Tetapi tentang kehidupan secara konseptual.
Mimpi dan harapan.
Menyebalkan sekali ketika
kusadari bahwa usiaku sudah tua. Namun masih menjadi beban untuk kedua
saudaraku, sementara aku sendiri hampir gila menyelesaikan semua kewajiban ini
SEORANG DIRI . Walau tetap saja, progresnya sangat lambat akibat segala
kebodohan dan sikap pecundang yang kumiliki.
Tiba-tiba saja ku teringat
sesuatu. Tentang betapa selama ini aku telah berhasil bertahan, melarikan diri
sampai rasanya kusadari ini sudah terlalu jauh. Aku terus berlari, bersembunyi
entah dari apa dan siapa. Mengejar sesuatu yang tak pasti. Juga meninggalkan
banyak hal yang seharusnya tak perlu diriku takuti sebanyak itu.
Aku ternyata sudah hancur. Aku
menyadarinya malam ini. Aku yang menjadi saksi kehancuran pernikahan kedua
orang tuaku. Lantas menjadi sengketa keduanya, ikut pada Mae salah, pada Pho apalagi.
Aku ingat, tahun terakhirku di sekolah. Suatu
sore aku mencukur separuh rambutku untuk sebuah kesenangan tak berdasar. Saat
itu anehnya aku tak dimarahi oleh ibuku. Wanita itu hanya menangis dan
menatapku dengan binar penyesalan. Entahlah,
aku sendiri ragu untuk menerjemahkan tatapan tersebut.
Nah, setelah dipikirkan sekarang.
Ternyata aku sudah gila sejak itu. Aku yang kala itu masih remaja tidak bisa
mengekspresikan diri dengan kesengsaraan yang kualami. Diriku terus merasa
semuanya baik-baik saja. Itu adalah gejala awal.
Bagaimana ya, bukan merasa paling
sengsara di dunia. Tapi pernahkah kamu melihat kedua orang tuamu dalam wujud
yang amat sangat jauh dari seharusnya orang tua tunjukan? Setiap hari, waktumu
hanya diisi oleh pertikaian mereka, saling memukul, membenci, menghina, dan
menjatuhkan. Semua itu terjadi sejak aku mulai menyadari bahwa kepergianku ke
rumah kakek di chiangmai, ternyata bukanlah liburan, melainkan pelarian.
Ssibal, lucu banget kalau dipikirin sekarang. Dipikirkan sekarang, itu juga
masuk akal mengapa kini aku malas membahas pernikahan. Mereka membuatku
meyakini bahwa pernikahan hanya sebuah gerbang lain dari kesengsaraan.
Apakah aku sedang cari perhatian?
Mengaku berpenyakit? mengaku terganggu secara bathin? Oh, ayolah. Hanya anak
kecil dan orang bodoh yang melakukan hal itu. Mengapa harus aku? Sialan, aku
ingin sehat !
Kau tahu, bagaimana rasanya
sedang diam, tapi tiba-tiba orang menertawakanmu? Aku sendiri tak begitu paham.
Mengapa ? MEMANG AKU BERHARAP INGIN BEGINI? hahahaha
Aku sudah lama memberanikan diri
untuk menyusun segala hal yang ada dalam diriku. Tidak untuk cocoklogi,
melainkan lebih kepada aku ingin meyakinkan diri bahwa diriku tidak sakit Aku
tak kenapa-napa. Tapi malam ini, aku menyerah. Aku sungguh lelah dengan keadaan
ini. Sepertinya aku memang tertekan. Dengan keadaan dirumah saat ini, dikampus,
dimanapun rasanya aku memang selalu tak berguna dan tak diharapkan. Apakah
memang benar?
Kehilangan banyak minat tentang
apapun, bahkan untuk hal yang selama ini kusukai. Aku sudah lama tak menaruh
hasrat padanya lagi. Aku tak punya bayangan apapun tentang masa depan. Aku tak
punya perasaan iri terhadap apapun. Aku hanya bisa berjuang untuk tetap
bernapas. Tak peduli apapun yang kulakukan, rasanya lelah bahkan sesaat setelah
beberapa detik sadar dari tidur tak lelap.
Aku tak ingin bertemu dan berhubungan
dengan manusia. Keluar rumah saja rasanya sangat tidak nyaman, aku merasa bahwa
orang orang sedang melihatku dengan tatapan yang tajam. Aku merasa seolah mereka sedang
menghakimiku sebagai pecundang. Ketika aku berbicara dengan orang lain, tubuhku
gemetar, aku kehausan, rasanya ingin melarikan diri saat itu juga dan
bersembunyi disuatu tempat.
Aku cemas setiap kali memikirkan
sesuatu tanpa sebab, rasanya sulit bernapas, rasanya ingin menangis pada saat
itu juga, rasanya luar biasa menyiksa. Aku mengingat Tuhan, namun hanya
beberapa persen yang sanggup ku atasi, sisanya membuatku kalut dan jatuh
terkulai.
Mungkin aku terlalu jauh dengan
Tuhan. Ya, itu sangat mungkin. Dan kamu tau apa yang membuatku begitu takut
akhir-akhir ini?
Aku membaca buku diariku, lalu
semua yang kutulis ternyata hanya seputar kematian, kematian, dan kematian.
Seolah aku sudah siap menerimanya. Sialan, segila inikah diriku? Pada siapa aku
harus meminta tolong?
Aku ragu apakah ini menjadi
bagian kepecundanganku? Tapi rasanya aku lelah sekali. Berkutat dengan masalah
yang sama, situasi yang sama, keresahan yang sama.
Suatu hari, aku berkunjung ke
makam Mae . Aneh rasanya, ternyata dia benar-benar sudah lenyap bersama
lembapnya tanah merah. Dia meninggalkanku seorang diri, seorang pengkhianat
ulung.
“Mae, bagaimana jika aku
menyusul?”
Bodoh, itukkan dosa... lalu untuk
apa selama ini aku ke kuil dengan rajin? lagipula aku takut untuk benar-benar
melakukannya. Seorang pecundang sepertiku, melihat darah saja mual. Apanya yang
menyusul ! Eh, lalu aku terperanjat. Tak kusangka ternyata nongkrong di kuburan
Mae enak juga, apalagi sambil menunggu senja dengan segelas kopi. Sayangnya,
aku tak ingin tetiba naik gunung hanya karena kesurupan.
Bulan spesial di depan mata,
rasanya aku ingin muntah membayangkan kesengsaraan ketika menjalaninya putus
asa, ala kadarnya, dan sama sekali tak punya energi untuk menyambut. Apa itu kehangatan?
apa itu ? setiap hari aku menjalani suasana yang sama. Hening, sepi, suram.
Redum.
Aku terbangun dalam kondisi tubuh yang
mengigil. Kudapati tubuhku mengambang di permukaan. Apa ini? Aku baru saja
menjatuhkan diri ke danau? Sialan, pantas saja orang sepertiku tak dianjurkan untuk berakhir
dengan melompat ke perairan. Sialan, itu sangat sakit. Apakah ini berakhir?
-Tamat-
Komentar
Posting Komentar