Kamu di Mimpiku
Mungkin, sampai manusia
dapat bepergian dari satu tempat ke tempat lain hanya menggunakan pintu kemana
saja, tradisi ospek mahasiswa baru, sepertinya akan tetap ada.
Seperti saat ini, misalnya.
Aku meneteskan peluh. Hampir sepanjang hari kakiku tidak pernah berhenti menyusuri jalan setapak tempat- tempat yang sedari tadi kurasa asing ini. Setengah nuansa Gunung Bromo. Setengah nuansa pantai timur
Indonesia pula. Pokoknya, tempat ini adalah pemandangan yang belum pernah aku
pribadi temui sebelumnya.
Ceritanya, kami ini adalah mahasiswa baru yang tidak lolos tahap seleksi maupun jalur
orang dalam universitas negeri ternama di kota. Jadi daripada nganggur atau malah
terjerumus pergaulan bebas, maka orang tua kami terpaksa memasukan kami ke
Universitas Swasta termahal di kabupaten ini. Yah, hitung-hitung ada pekerjaan
saja. Biar enggak nganggur, katanya.
Kami sangat lelah. Setelah disuruh tiarap, merangkak,
jalan jongkok, dan masih banyak. Senior kami rupanya masih setia berkoar
menyuruh ini-itu seolah kami masih sanggup melakukan semuanya. Dasar, mereka
pikir, mereka itu siapa? Berani-beraninya melakukan praktik perpeloncoan pada
kami?!
Sayang, aku tidak punya nyali bahkan untuk sekadar menyampaikan protes pada mereka. Bisa-bisa aku ditendang sebelum sempat masuk universitas.
Jika begitu, hidupku tentu akan hancur. Universitas mana lagi yang akan
menerimaku selain swasta ini.
Hari sudah semakin petang. Matahari malu-malu
melakukan perpisahan. Semburat cahaya keemasannya begitu memesona hingga
menghipnotis kami yang sibuk memisuhi keadaan. Masya Allah,
dimanapun tempat ini, kami pikir matahari disini nampak begitu besar dari
tempat-tempat biasa kami menyaksikannya.
Hari berganti malam. Setelah makan malam yang hambar
dan memuakan. Kami belum diperkenankan tidur oleh kakak senior sialan itu. Yang
ada, hukuman demi hukuman kian terasa kental. Semakin banyak mahasiswa baru yang
memicingkan matanya tak sopan, makin kian berat pula hukuman sang senior kepada
kami.
Ya Tuhan. Pantas saja Indonesia susah maju.
Kali ini kami pergi jauh ke dalam hutan. Di tengah
malam yang gelap gulita serta keheningan yang pekat. Senior mulai memanggil
kami satu persatu. Kini kami sudah tak dipanggil sesuai tim lagi. Senior kejam yang berdiri menjulang tepat di depanku, sudah tak berselera memanggil nama-nama aneh kelompok yang sejak tadi menggaung sepanjang perjalanan.
“ Hey, kamu. Iya, kamu yang kacamata.”
Semua perempuan yang berkacamata menoleh ke arah
seorang senior bergincu merah merona. Perawakannya tinggi, ramping, alis-nya tajam seperti tikungan jalan gentong limbangan Garut. Ketika begitu banyak sosok yang melirik gugup ke arahnya, dia mendelik tak suka.
“ Maksudnya, kamu yang pake kacamata, yang badannya
gendut.”
Sialan, hanya aku yang gendut di sini.
“ Iya kak, kenapa?” Aku maju sembari menunduk dalam,
takut pada tatapan tajam senior bergincu merah di depanku itu. Dalam hati aku
merutuk kesal. Mendokan senior itu supaya segera mendapatkan karma buruk yang
setimpal dengan penderitaan kami selama satu hari penuh.
“ Kamu bakal jadi orang pertama yang naik arung jeram,
sendirian ya, jangan lupa buat kumpulin bendera kecil di sepanjang tepian
sungai ini. Mengerti?” Bibirnya yang tebal dengan warna merah merona itu naik
turun menjelaskan peraturan tahap perpeloncoan terakhir.
Ya Allah, yang maha pengasih. Apa katanya? Dia ini
sudah gila atau bagaimana, sih? Ditengah malam begini, arung jeram? Lebih baik
bunuh saja aku, bunuh ! Dasar senior menyebalkan.
Tetapi, pada kenyataannya aku menaiki perahu karet
itu. Menangis terisak diantara derasnya guyuran air terjun yang jatuh di
seberang tempat kami berkumpul. Eh, ngomong-ngomong. Kami sendiri sebenarnya kurang paham, mengapa
tiba-tiba ada air terjun di sini? Bukankah tadi kami sedang berada di bebukitan
dan garis pantai yang panjang membentang ?
Sungai yang akan kami gunakan sebagai lokasi arung jeram sebenarnya bukan sungai yang kecil. Karena saking derasnya, aku pribadi
malah merasa seperti sedang berada di sungai amazon. Berkeliaran di tengah malam
dengan ancaman anakonda dan buaya kelaparan dipanjang kaki sungai.
Tetiba, aku merasa sangat menyesali keputusan
melanjutkan pendidikan tinggiku. Lebih baik jadi pembantu saja di kota besar
kalau begini caranya.
“ Tunggu apa lagi sih? Cepet sana pergi !”
Aku mengangguk. Menangis dalam diam.
“ Salsa, lo gila apa? Ini kan gak ada dalam rencana
ospek kita?”
Itu suara seorang pemuda, yang dari kejauhan kami
bisa langsung menebak pemiliknya siapa. Sebuah sosok yang sejak tadi bak
malaikat, melayani mahasiswa baru dengan senyum hangat dan rupawan, ramah nan
memesona.
Kak Mahendra. Ketua BEM .
Aku terperangah menyaksikan sosok itu mengintrupsi
rencana jahat si senior bergincu merah. Ehm, bagaimana ya menjelaskannya? Aku
merasa seperti sedang menjadi tokoh utama perempuan dalam kisah-kisah picisan
wattpad.
Kak Mahendra menghadapi senior bergincu merah yang baru
kuketahui ternyata bernama Salsa itu. Sosoknya yang tinggi jauh lebih menjulang membuat
leherku sakit saat menengok ke arahnya.
“ Kamu gak usah naik, kita udahin acara ospeknya kok.
Ayo sini turun,” Katanya dengan suara husky yang melenakan,
mengulurkan tangannya padaku. Yang tentu saja langsung kuterima dengan senang
hati.
Hampir saja aku jadi santapan Buaya.
“ Makasih banyak, kak” Kataku , sepenuh hati.
Dia mengangguk. Membuat poni dan anak rambutnya yang
bergelombang turun menutupi sebagian wajahnya yang tampan. Kumisnya yang tipis
ikut naik begitu bibirnya tersungging. Matanya yang berkelopak ganda
nampak hanya tinggal segaris ketika
tersenyum. Garis rahang yang begitu seksi, serta yang paling membuatku goyah
adalah bibirnya yang berbentuk hati dengan warna merah muda alami. Ya Tuhanku. Belum pernah hamba menghadap
karyamu yang begitu Indah seperti ini.
Setelah adegan penyematanku dari aksi
perpeloncoan finnal senior tidak bertanggung jawab. Aku akhirnya dapat bernapas
lega tatkala kak Mahendra memberi hadiah
berupa teguran keras pada senior bergincu merah yang ternyata masih berada satu
tingkat di bawah pemuda itu.
Kak Mahendra ternyata adalah senior dari semua senior
kampus. Konon, dia sudah menempuh dua belas semester dan bulan depan terancam
Drop Out. Tetapi entah mengapa, hal tersebut tidak
menjadi penghalang atas pesona-pesona yang terpancar dari dalam dirinya.
Sementara teman-teman seangkatanku menatap Kak Mahen
bak pahlawan negara, aku justru hanya fokus pada pikiranku tentang sesuatu.
Dalam kehidupan sebelumnya, apa mungkin aku pernah bertemu dengan pemuda di
hadapanku ini? Sebab, ia terasa seperti teman lamaku. Atau, mantan kekasih?
Mengapa aku segugup ini saat menghadapnya?
Darahku perlahan berdesir saat jemarinya menauti jemariku.
Pikiranku kosong begitu tatapannya menusuk lensa
mataku.
Dan yang terpenting...
Jantungku berhenti saat dia tersenyum padaku.
Semua kesengsaraan selama sehari penuh lantas hilang
begitu saja. Seperti buih-buih busa sepanjang musim dingin di garis pantai yang tersapu
ombak.
Ya Tuhan !
AKU JATUH CINTA. PADANYA. KUMOHON, JADIKANLAH DIA
JODOHKU.
***
“ Kak Mahe ... Kak Mahe pala lu peang ! Bangun lo, udah jam delapan
nih. Kagak kuliah online? "
Suara itu? Tidak ! Kumohon.
“ Bangun cepetan !”
Aku terbangun dengan perasaan sesak tiada tara. Jika
suara ini nyata, maka semua perasaanku beberapa detik lalu hanyalah sebuah
khayal belaka, dong. Ah... sialan. Tapi mau bagaimana lagi?
Bagaimanapun.
Bagaimanapun.
Kamu. Memang tidak akan pernah menjadi nyata.
Kamu.
Kamu di Mimpiku.
Komentar
Posting Komentar