KEBAHAGIAAN YANG MURNI, IALAH BAHAGIA MENURUT DIRIMU SENDIRI
Mengapa manusia harus selalu tamak? Dalam hal apapun, mereka senantiasa bersaing. Katanya agar menjadi yang terbaik. Padahal sebenarnya, mereka sendiri tidak begitu yakin apa definisi terbaik itu sendiri seperti apa dan bagaimana.
Terbaik bagi setiap orang jelas berbeda. Saya pribadi, menganggap kata terbaik ini, berdasarkan apa yang orang sukai saja. Jika sekiranya ia merasa telah mencapai sesuatu yang diinginkannya, maka itu sudah titik terbaiknya. Tidak perlu mendapatkan validasi dari orang lain.
Saya harus mengakui bahwa kalau disandingkan dengan orang lain, jelas saya ini merupakan sebentuk beban besar dalam keluarga. Sudah dua puluh empat tahun, belum lulus, menikah apalagi, kerja juga, kerjaan di rumah hanya menghabiskan stok makanan, diam seperti karung beras, menghimpit guling atau bantal, menciptakan pulau baru, serta yang paling penting memperluas interaksi dengan makhluk imajiner dalam mimpi. Saya enggak menampik, benar kok bahwa saya memang pecundang.
Tetapi setiap kali berkaca, atau menerawang jauh menembus langit-langit kamar yang gelap. Saya meyakini sesuatu, bahwa saya bahagia dengan apa yang saya jalani. Tidak terlalu harus banting tulang dengan kondisi ekonomi, saya mengenal banyak idola Thailand, saya menonton banyak series dan film. Saya tahu ilmu komunikasi, Jurnalisme, dan perfilman. Saya punya otak yang lumayan mumpuni untuk adu argument. Saya keren dengan apa yang sudah saya pernah lakukan. Saya merasa senang karena belum menikah, melihat remaja yang sudah menimang anak, saya merasa nggak sanggup kalau harus melepaskan kebiasan rebahan saya untuk nyawa baru dan bertanggung jawab atasnya. Saya terkadang bersyukur saat membandingkan biaya hidup pribadi, dengan teman-teman yang terget belanjanya sudah berupa kebutuhan rumah tangga. Iya, saya soalnya belum mampu terlalu jauh ke sana.
Dimata saya, mereka sudah berjuang sejak dini, terlalu awal. Kehilangan kesempatan ini-itu. Meskipun saya juga tidak banyak mendapat kesempatan, sih. Hahaha
Tetapi dalam sudut pandang mereka, ya sayalah yang gagal. Meninggalkan banyak kesempatan untuk menyaring pahala dan kebaikan hidup. Tapi dimata semesta, saya Bahagia. Mereka Bahagia. Kami sama-sama bahagia dengan cara yang berbeda. Bagi saya, kita sudah sakit jiwa ketika sudah terjatuh dan membandingkan diri kita, jalan hidup, nasib dengan orang lain. Dan sebelum itu menyerang kewarasan, mari kita menikmati kebahagiaan masing-masing. Tidak usah saling membandingkan. Kita sudah Bahagia.
Komentar
Posting Komentar