PECUNDANG
Pemakaman Mamah adalah kali pertama dan terakhir saya mengunjungi nisannya. Setelah itu, aku tak pernah sekalipun menginjakan kaki di tanah yang sama, bahkan ketika hari raya besar sekalipun.
Saya tahu, mungkin semesta juga. Bahwa saya adalah manusia paling egois di jagat ray aini. Saya tidak mau berusuan dengan masa lalu, dan emosi yang akan membuat saya kalut berlarut-larut.
Saya mungkin anak durhaka karena tak pernah mengunjungi kuburan Ibu kandungnya sendiri. Tetapi demi Tuhan, saya selalu mendoakan keberadaan dan kebaikannya di alam sana. Saya hanya tidak ingin terperosok kembali dalam kesengsaraan dunia.
Pernah merasakan tidak bagaimana rasanya depresi? Lebih dari sekadar kehilangan orang tercinta? Percobaan bunuh diri, yang belakangan malah kutertawai. Mengapa saat itu saya sangat tolol? Memangnya saya sudah punya cukup bekal amalan dengan niat menyusul tersebut? Goblok sekali.
Lalu, belakangan. Perasaan rindu saya kepadanya sedang membuncah. Otak saya bergejolak memikirkan pengandaian sialan tentang, bagaimana ya kalau misalnya mamah masih hidup? Pasti hidup ini seru banget??
Sialnya, itu hanya saya dan harapan. Terbentuk menjadi mimpi buruk yang kelam nan pekat. Membawa petaka keesokan paginya. Perasaan murung tak berkesudahan.
Sekali lagi, saya menatap langit-langit kamar yang sedikit memantulkan cahaya redup ponsel. Mengapa Tuhan memilihku untuk memikul beban ini? Padahal aku merasa yakin, bahwa ini bukan sesuai kemampuanku? Sejujurnya aku sudah tidak sanggup, tentang Mamah, Bapak, kuliah, kerja, semuanya? Apa yang membuat Allah merasa yakin, bahwa hambanya ini akan mampu menyelesaikan takdir hidup yang ditulis-NYA?
Komentar
Posting Komentar