NOVEL MAKAN TAHI ; KETIKA MANUSIA LEBIH TAHI DARI TAHI

 



Penulis                 : Adia Puja

Penerbit              : Pen.er.bit

Tebal                    : 174 Halaman

Tahun Terbit       : Bantul, 20 November 2020

Harga                   : Rp. 65000

 

Premis :

Tahi adalah satu-satunya hal yang tidak bisa ditolelir , sekalipun saat manusia tengah terjebak dipuing reruntuhan pasca gempa bumi, misalnya. Tetap saja bukan menjadi pilihan bijaksana untuk memilihnya sebagai makanan.

Bagaimanapun, Tahi itu kotor, bau, dan menjijikan. Bila ada manusia yang mau memakannya, sudah bukan rahasia lagi kalau ternyata dirinya memang dikenal tidak waras.

Namun bagaimana jadinya bila sebuah kampung, di pesisir pulau terpencil justru menjadikan tahi sebagai makanan pokok mereka?

Eeewh... Masa sih?

 

 

 

Kesan Pembaca :

Tidak bisa dipungkiri bahwa selain karena mengenal karya sebelumnya, alasan gue membeli buku ini tak lain karena judulnya yang diluar nalar. Makan Tahi menjadi terasa begitu misterius sekaligus mengundang rasa penasaran. Apakah memang tentang seorang manusia yang hobi makan tahi, atau hanya sebuah istilah bahan baku makanan yang saking murah dan tidak berharganya, lantas dinamakan sebagai Tahi. Dan untuk mencari tahu jawabannya, Rp. 65.000 langsung mengantarkan gue pada setiap lembar kisahnya.

Merupakan anak bungsu Adia Puja. Makan Tahi bakal menyeret pembaca pada kisah fiksi setengah nyata tentang Indonesia yang ternyata masih memiliki banyak daerah yang belum terjamah aliran listrik, serta apapun yang sekiranya berkaitan dengan fasilitas dari Negara.

Jangankan fasilitas, hak sederhana yang seharusnya mereka mampu reguk dari alam saja malah diambil oleh oknum –yang katanya- pemerintah itu. Bajingan !

Buku ini mulanya membawa gue pada ekspektasi tinggi, mengingat karakternya begitu dekat dengan apa yang selama ini gue pelajari.

Seorang wartawan diutus oleh atasannya untuk meliput sebuah kampung di pelosok. Yang terbayang dalam benak gue. Oh, ini pasti serupa liputan khusus (Indonesiaku) atau semacam rubrik feature.

Cara penulis mendeskripsikan kampung karanggaling adalah bagian yang paling gue sukai. Rute perjalanan hingga panorama kampung, secara alami langsung terbayang dalam imaji. Sehingga kampung tersebut terasa begitu nyata adanya. Sesekali gue mengamati laman pencarian, mengetik nama kampung dengan tanpa typo. Tetapi hasilnya nihil, tidak ada nama kampung seperti itu di Indonesia. Yang berarti. Semua cerita dari novel ini hanya fiksi belaka.

Maka, perkara ada orang makan Tahi pun semakin menjelang akhir. Gue pikir sudah tidak penting lagi. Keresahan berganti dari sekadar “Ini seriusan ada orang makan Tahi?”  menjadi “Aduh, siapa yang bakal kalah ya, semoga pemerintah deh yang kalah.”

Selain itu, penulis juga sangat dengan senang hati menghadirkan bagaimana kehidupan dari seorang wartawan. Tidak hanya dengan susahnya mencari bahan berita, dan berkelana. Juga menyempilkan secuil fakta lapangan  tentang politik media, idealisme yang mulai goyah, serta tentu saja Industri berita itu sendiri.

Secara tidak langsung, ini sebenarnya adalah novel Jurnalisme yang isi-nya merupakan sekelebat gambaran bagi orang yang baru berkecimpung di dunia Jurnalistik. Dibumbui dengan pengupasan secara tuntas intrik politik yang kotor dengan gaya yang sederhana, namun sangat relate dengan kondisi nyata.

 

Sayangnya, ada yang kurang :

Ending yang tidak memuaskan seakan menjadi bukti bahwa segala sesuatu itu tidak harus selalu sejalan dengan apa yang pembaca inginkan. Meski sekali lagi masih agak merasa dongkol, gue mengikhlaskan endingnya sepenuh hati, tak mengapa si Aku kalah pun.

 Tetapi, ada hal yang bikin gue merasa pantas mengeluh. Pertama, mengenai karakter si Aku yang tidak banyak penulis gambarkan secara fisik maupun latar belakang sosial-nya(Selain perihal ngantor dan ngekost) Dari sana, secara alami gue merasa kalau karakter utama malah cukup pasif meskipun dia sendiri yang bernarasi, gue justru lebih mempercayai eksistensi tokoh Lantenam. Mungkin karena gue ini tipikal pembaca yang lebih suka disuapi penulis perkara karakterisasi, tidak bisa menciptakan sosok itu dalam benak hanya bermodalkan lewat dialog dan ploting saja.

Kedua, sekaligus yang terakhir. Jujur gue kecewa begitu mendapati kualitas cetakan dan layout novel terasa begitu serba seadanya. Font nampak terlalu kecil. Coba bayangkan, dengan jenis font, ukuran, dan paragraf berjejal dalam satu halaman. Novel segenggaman tangan ini terasa seperti rumah bagi bayi-bayi semut. Pusing sekali gue bacanya maimunah.

Overall, selain bisa melihat the another kisah kaum termarjinalkan. Buat gue pribadi, buku ini begitu menarik. Karena berhasil menghadirkan potret kehidupan seorang wartawan dan media yang menaunginya.

3, 5 /  5 Bintang

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Film The Gangster, The Cop, The Devil (2019) ; Adaptasi Kisah Nyata Terbaik

Review Film The Villagers (2019) ; Misteri Skandal Besar di Kota Kecil

Review Film 7 Alasan Mengapa The Handmaiden (2018) Begitu Memesona