Adeeeeeek ! Hidup Bukan Tentang Impian dan Angan-angan Saja, Dek
Saya belakangan ini sering dibuat kaget, ketika hendak menyukai
aktor atau penyanyi Rookie. Kenyataan bahwa profilnya, tertera line 2005 entah
kenapa selalu langsung menampar hati dan pikiran saya.
Oh,
ternyata saya ini sudah tua ya. Lalu saya menghela napas dalam. Mulai merenungi
kehidupan yang tak kunjung berakhir, maksudnya berakhir seperti apa yang
seharusnya saya rencanakan.
Saya
jadi berpikir, padahal ketika remaja dulu. Saya keren loh, berani bermimpi
tentang banyak hal. Ingin menjadi penulis best seller, penulis naskah film,
bahkan ingin menjadi wartawan di media besar.
Tapi
apa daya, hidup memang tak selalu harus sesuai dengan apa yang diinginkan.
Semua harapan saya, tiga-tiganya. Kandas, maksudnya. Jangankan kandas, tercapai
saja belum pernah.
Saya
pernah mensubmit sebuah naskah, tapi ya begitu, kalah saing dari premis.
Entahlah, saya memang sebodoh itu menerapkan imajinasi yang padahal bagi saya
seru, tetapi saat ditulis, malah jadi membosankan sekali.
Lalu
, saya pernah ditawari kakak tingkat untuk ikut ke sebuah media. Dan dengan
tololnya, saya menolak. Saya lupa apa alasannya, tetapi yang jelas, penyesalan
selalu datang terakhir. Saya juga pernah menulis naskah film, tapi saya
menyerah, itu terlalu sulit. Ya, intinya saya memang bodoh sih.
Lalu
saya berpikir, apakah impian dan kerja keras selalu berjalan beriringan?
Saya
kira, sukses tidaknya kehidupan seorang manusia. Tergantung pada masa
remajanya. Diusia dua puluh lima tahunan, pase remaja amat penting dan
mempengaruhi.
Jika
pada saat itu kita berjuang belajar, maka sekarang, kita tinggal menikmati
hasilnya. Entah mungkin kita bisa bekerja sesuai passion, atau barangkali
bekerja tak sesuai passionpun, rata-rata gajinya besar, setidaknya stress oleh
pekerjaanpun, kita mampu membeli hal yang diinginkan.
Menginjak
dua puluhan, pikiran naif saya tentang kehidupan mulai luntur. Saya belum
menikah, tetapi dalam pikiran saya hanya ada bayangan tentang bagaimana
menyambung hidup esok lusa?
Saya
menengok ke kiri, teman masa kecil sudah mengantar anaknya ke paud, nengok ke
kanan, teman kuliah sudah bekerja dan berumah tangga. Beberapa teman saya malah
sudah ada yang menjadi Guru tetap. Sialan, rasanya selalu ingin mencekik leher
sendiri. Hahaha
Saya
menyelesaikan tugas kuliah saja lalai, tidak bisa tepat waktu. Ingin
mengakhirinyapun, sulit. Memikirkan tentang pernikahan, saya menyerah, bendera
putih saya kibarkan sejak awal.
Berbicara
tentang pernikahan, saya selalu merasa sudah kenyang. Ikut mengarungi badai
bersama kapal orang tua yang terkoyak saja, sudah cukup bagi saya.
Rasanya,
saya tak ingin menciptakan sosok diri sendiri di kemudian hari. Cukup saya saja
yang harus merasakan sulitnya menjadi korban dua manusia egois, yang suatu
malam bercinta dan bahagia, tetapi keesokan harinya berseteru dan saling benci.
Entah
sejak kapan, khayalan saya tentang kehidupan. Sudah usai dan terkubur dalam.
Saya tak peduli lagi tentang cita-cita. Saya tak peduli sekalipun, menjadi
penulis itu tak terwujud. Yang penting bagi saya sekarang, adalah bagaimana
caranya menafkahi diri sendiri?
Saya
harus bekerja. Melunasi hutang finansial saya kepada dua saudara. Menafkahi
diri sendiri adalah hal krusial saat ini. Saya harus berpikir, bagaimana
caranya membeli manhwa (Tolol). Saya harus berpikir, bagaimana caranya bisa ke
Phuket? Ah, ssibal. Memikirkan itu saja, pusing rasanya.
Saya
tak tahu menahu, definisi sukses itu yang bagaimana. Apakah teman-teman saya
yang sudah menikah, bekerja, dan menjadi Guru? Ataukah, mereka yang sudah bisa
hidup sesuai dengan rencananya?
Yang
jelas, saya biasa saja sih. Malu, ya malu. Tapi tak merasa gagal. Toh saya
mencintai apa yang ada dalam pikiran saya, saya menyukai opini pribadi, saya
menyukai imajinasi sendiri, saya menyukai segala hal yang saya miliki. Sejak
dulu, saya tak pernah iri pada hal yang berbau materi.
Saya
alhamdulilah bukan tipikal orang yang iri dengan ponsel baru teman, atau iri
dengan apapun yang mereka miliki. Baju? Makeup? Laptop? Terus, apa lagi? Ya
pokoknya, apapun. Saya tak pernah merasa iri.
Semalam,
saya menyadari sesuatu. Bahwa, ternyata hidup itu bukan tentang impian dan
angan-angan. Saya sudah hidup selama dua puluh empat tahun, dengan mereka. Tetapi
pada akhirnya, hidup adalah tentang menjalani hari demi hari. Menyambung nyawa.
Bertahan hidup dalam arti yang sesungguhnya.
Dengan
ini, saya menyatakan, saya menyerah. Saya tak ingin bermimpi tentang apapun.
Hanya ingin bertahan hidup. Menyambung nyawa.
Komentar
Posting Komentar