Mengupas Tuntas Film Sultan Agung; Tahta, Perjuangan, dan Cinta ( 2018)




Sekilas Tentang Hanung Bramantyo

Hanung dikenal sebagai salah satu Sutradara terbaik Indonesia. Selama karirnya, beliau sudah memproduksi sebanyak 35 film dengan berbagai genre dan ratusan aktor papan atas tanah air.

Namanya mulai melambung ketika Ayat-ayat Cinta banyak dibicarakan sebagai film paling laris pada masanya. Sejak itu, nama Hanung mulai dipertimbangkan di kancah perfilman Nasional.

Gue sendiri sempat sangat terpesona oleh dua film pamungkasnya, diantaranya Rudy Habibie dan Kartini. Sampai saat ini, kedua film itu masih tetap terpatri sebagai film terbaik yang pernah gue saksikan.

Nah, baru kemudian gue menambah daftar film favorit besutan Mas Hanung ketika tahun lalu, seingat gue. Pernah terpangpang sebuah poster dengan status masih coming soon di Bioskop kesayangan kita. Dia adalah Sultan Agung ; Tahta, Perjuangan, dan Cinta. Demi Tuhan, saat itu gue merasa sangat antusias. Sebagai pecinta genre kolosal. Kehadiran maha karya seorang mas Hanung tentu menjadi angin segar yang akan mengisi kekosongan genre tersebut diranah sineas tanah air.
            Namun sayang. Gue lupa. Bodoh !

            Mari kita lewatkan bagaimana caranya gue kemudian melahap tiga jam penuh kisah perjuangan seorang sultan agung mataram ini. Yang terpenting sekarang, adalah perasaan mengesankan yang tidak pernah gue dapatkan saat menonton film lokal. Ya Tuhan, gue sangat bersemangat untuk bagian ini. Lets Go !

            Hanung Bramanttyo. Seorang anak bangsa yang sudah terjun didunia perfilman bahkan sejak Joko Anwar saja belum muncul ke permukaan. Tahun dua ribuan, kita boleh jadi hanya mengenal sutradara bernama Hanung ini. Ketik kata kunci “Sutradara terbaik tahun dua ribuan” maka niscaya yang akan keluar di layar laptop adalah beliau. Hanung Bramanttyo.

            Mengawali karir penyutradaraannya. Mas Hanung seperti  memfokuskan diri hanya pada genre drama dan religi. Sebut saja beberapa film produksinya yang paling termasyur adalah Ayat-Ayat Cinta, Surga Yang Tak Dirindukan, Get Married, Perahu Kertas,  dan Perempuan Berkalung Sorban. Yang gue rasa beneran berpusar pada segi spiritual.

            Kemudian, sepertinya sang sutradara mulai menghadapi tantangan baru dalam karir. Seiring berjalannya waktu. Mas Hanung berkembang menjadi sutradara yang lebih bijaksana. Beliau mulai mengambil project dengan genre baru untuk setiap film yang digarapnya.

            Dua tahun kebelakang, mas Hanung tengah menggandrungi genre Biografi. Terbukti dengan Habibie Ainun, dan Rudy Habibi ternyata benar-benar sukses besar dipasaran . Keduanya menjadi film paling banyak dibahas media karena menjadi film terbaik untuk mengisahkan perjuangan hidup tokoh paling berpengaruh di Indonesia, yakni BJ Habibie. Terlepas dari segala kekurangan dalam penyutradaraannya saat itu. Gue pribadi mengakui semua kerja keras mas Hanung untuk kedua film tersebut. Apalagi, Rudy Habibie masuk ke dalam daftar film terbaik versi blog pribadi gue.

            Gue suka sekali film Rudy Habibie !

Selepas itu mas Hanung mulai merambah genre yang lebih krusial, kompleks, dan ranum akan tantangan. Kolosal, Sejarah, Kerajaan. Menjadi tiga label film garapannya setahun terakhir.

 Genre kolosal pun menjadi wahana baru bagi sang sutradara. Dimulai dari Gending Sriwijaya, Seokarno ; Indonesia Merdeka, Kartini, dan Sultan Agung ; Tahta, Perjuangan dan Cinta. Semuanya merupakan sebentuk proses pertumbuhan seorang sutradara bernama Hanung Bramantyo.

             Sebut saja Sultan Agung ; Takhta, Perjuangan dan Cinta. Yang akan gue bahas tuntas dalam judul postingan kali ini. Semua akan gue bicarakan, mulai dari kualitas filmnya sendiri, hingga pada bagaimana gue memahami beberapa point penting dalam cerita yang terkandung dalam film.

Tentang Film Sultan Agung ; Tahta, Perjuangan, dan Cinta

·         Garis besar cerita

Film Sultan Agung ; Tahta, Perjuangan, dan Cinta sendiri akan menceritakan kisah perjuangan salah satu Sultan Mataram yang diperankan oleh aktor berparas manis Ario Bayu .

Tanah Jawa, 3,5 Abad Sebalum Indonesia Lahir.
Padepokan Jejeran.

Dalam paruh pertama film, kita akan disuguhkan suasana sebuah desa kecil dan sederhana dimana didalamnya terdapat satu padepokan yang dipimpin oleh Kiayi bersahaja sekaligus pempimpin rohani desa tersebut.

            Diantara semua santri padepokan, ada seorang remaja yang diperkenalkan sebagai karakter cukup jenaka dan sering menyalahi aturan yang diterapkan oleh sang Kiayi.

            Dia adalah Raden Mas Rangsang (Sultan Agung Muda) yang diperankan oleh Marthino Lio . Semua penduduk dan santri mengenalnya sebagai salah satu anak didik Kiayi yang paling badung. Namun ternyata, dibalik itu semua tidak ada yang menyangka bahwa Raden Mas Rangsang ini punya darah biru. Bahkan  diluar dugaan semua orang, posisinya juga lebih tinggi dari sekadar anak bangsawan tersohor semata.

            Beberapa waktu berselang, barulah diketahui bahwa Raden Mas Rangsang ini merupakan salah satu pangeran keraton. Beliau ternyata adalah anak pertama Sultan Mataram. Dari kanjeng ratu kedua ; Ratu Dyah Bonowati.

            Warga mulai curiga ketika ada utusan keraton datang ke desa mereka yang terpencil dan tidak ada orang penting lagi selain Kiayi disana. Ketika para utusan meminta pihak padepokan menyusul Raden Mas Rangsang, kecurigaan tersebut mulai merebak. Meski baru terbukti ketika salah satu santri perempuan yang juga merupakan anak dari kepala desa sekaligus kekasih Raden Mas Rangsang ini menguping pembicaraan antara sang pangeran dan Kiayi.

            Alasan mengapa Raden Mas Rangsang berakhir di padepokan tersebut adalah karena sang Ayahanda merupakan penerus Sultan sebelumnya yang tidak memiliki restu dari para saudaranya. Hingga kemudian, beliau mengirimkan pangeran untuk berguru kepada ulama kepercayaannya. Demi menjadi penerusnya kelak. Meski sebenarnya masih ada putra mahkota diatas sang pangeran. Hm, biasalah. Konspirasi politik.

            Sejak itu. Kedekatan keduanya ( Raden Mas Rangsang dan Lembayung)  berubah. Mulai ada jarak antara rakyat dan pemimpin dalam hubungannya. Namun Raden Mas Rangsang menolak. Pangeran tampan itu enggan diperlakukan seperti pangeran oleh kekasihnya yang bernama Lembayung tersebut. Beliau ingin hubungan mereka terjalin seperti biasa. Pangeran pulang ke keraton atas permintaan Kanjeng Ratu. Jika ada panggilan seperti ini, maka sebuah topik pembicaraan penting akan terjadi.

            Pada bagian ini, gue merasa sangat terenyuh oleh betapa mengesankan sekali tata krama keraton yang ditampilkan. Cara pangeran memohon izin masuk kamar ratu, mendekati beliau, sampai pada adegan menyapa dan berbincang. Sungguh sopan dan santun.

            Disini, percakapan tentang masa depan Mataram mulai menguap. Kanjeng Ratu dengan begitu Ayu dan Bijaksana mengisahkan perjuangan Ayahanda sang pangeran. Hingga lama kelamaan, pembicaraan tersebut merujuk pada pendaulatan sang pengeran untuk mewarisi tahta.

            “ Ibu, aku ingin jadi Brahmana” Ungkap Raden Mas Rangsang.

            Ohya, beberapa hari sebelumnya memang sang pangeran dan Lembayung mendapatkan hukuman dari Kiayi untuk menyebutkan apa saja enam golongan manusia yang dikelompokan berdasarkan rasa ketergantungannya terhadap materi. Dua golongan pertama yang paling tinggi adalah :
            Brahmana merupakan golongan paling unggul dan menjadi sebutan untuk manusia yang  dan didalamnya terdapat para kiayi, Pendeta, dan pertapa. Mereka rela meninggalkan harta dan bangsa hanya untuk fokus kepada Tuhan masing-masing.

Golongan manusia kedua adalah Ksatria. Yaitu mereka yang  mengabdikan dirinya untuk negera. Mereka tak punya kekayaan pribadi. Alasan pertama karena itu hal yang tidak diizinkan, kedua karena mereka sudah dipenuhi hidupnya oleh negera.

Kanjeng Ratu hanya tersenyum samar. Beliau lantas secara lembut mengungkapkan bahwa Mas Raden Rangsang itu sudah ditakdirkan menjadi pewaris Mataram selanjutnya. Hanya sang pangeran yang layak. Katanya.

Apa alasannya? Padahal Sultan sudah berjanji pada ratu pertamanya agar Putra Mahkota menjadi pewaris selanjutnya. Mudah saja, pada bagian ini diceritakan bahwa Kanjeng Ratu pertama tidak bisa memiliki anak. Nahasnya, ketika pangeran Rangsang lahir. Adiknya ; putra mahkota pun lahir. Namun dengan kondisi difabel. Itulah alasan mengapa Raja mengurungkan janjinya.
Singkat cerita. Raden Mas Rangsang kembali di panggil ke Keraton dengan permasalahan lebih baru. Kanjeng Sunan Kalijogo (Ayahanda)  meninggal dunia secara mendadak. Dan fakta tersebut membuatnya sadar dari mimpi untuk menjadi seorang Brahmana. Sejak itu, Raden Mas Rangsang terpaksa menduduki singgahsana. Meninggalkan padepokan,  ilmu-ilmu agamanya, serta sang kekasih tercinta.
            Raden Mas Rangsang yang masih muda terpaksa harus mulai terjun kedalam dunia politik dan memerintah Mataram. Hingga tahun berganti tahun, beliau mulai tumbuh menjadi sultan yang berwibawa dan sangat mencintai kerajaan serta rakyatnya.

            Yang menjadi masalah kemudian adalah, Sultan ternyata masih punya jiwa Brahmana. Ilmu dan nasihat dari Kiyai nyatanya masih tersemat dalam hati sang sultan.

            “ Akan ada orang-orang yang menghancurkan Mataram, mereka akan mencuri, menjarah, dan merampok yang menjadi hak rakyat dan melakukan perbuatan semena-mena terhadap kita. Dan para Brahmana, Ksatria, serta Adipati takluk di dalam cengkeraman mereka. Tapi akan ada pemimpin yang melepaskan semua penderitaan itu. Orang itu bukan adipati biasa, dia merupakan keturunan murni dan salah satu susuhunan Agung. Dan orang itu adalah kamu ” Jelas Kiayi. Saat itu, Raden Mas Rangsang muda menyimak secara saksama.

            “ Boten Guru, serat  ini salah. Masih banyak pangeran yang layak”  
            Tapi kemudian, semua harapan yang merujuk kepadanya. Membuat Raden Mas Rangsang mengalah.

            Ingatan itu masih utuh sampai kepemimpinannya yang kesekian belas tahun. Dan kemudian, apa yang Kiayi katakan pun mulai terwujud. Orang-orang Eropa (VOC) mulai memasuki Mataram. Setelah sebelumnya berhasil menaklukan kerajaan-kerajaan di daerah Barat.

            Sultan memutuskan untuk melawan. Tidak ada lagi yang namanya kerja sama dengan senapan ditangan sang partner. Itu aturan pertama. Terlebih pajak keseluruhan hampir semuanya jatuh ketangan Kerajaan. Semua peraturan ini langsung membuat pemimpin para pedangang Eropa tersebut merasa tersinggung dengan sikap Sultan.

            Disini, kita dapat melihat. Bahwa  apa yang disampaikan Guru Besar (Kiayi)  beberapa belas tahun lalu terbukti benar. Tidak hanya berjiwa Ksatria, Sultan yang baru ini juga memiliki sikap-sikap Brahmana yang juga diterapkannya dalam memerintah kerajaan.

            Beliau mungkin menjadi satu-satunya Sultan paling berani melawan para pedagang Eropa. Daripada ditindas, Sultan lebih memilih berperang. Mengirimkan para Jendral dan Adipati untuk menyerbu pusat kehidupan orang Eropa (VOC) di Batavia.
·         Kelebihan  Film :

1.      Jajaran Aktor Mumpuni dan Berkualias


Cari film mana yang punya punya jajaran aktor berkualitas serta berpengalaman. Yowes, susah toh?

Mungkin ada beberapa.

Serta salah satunya adalah Film ini.  Gue dibuat begitu berhasrat ketika beberapa nama besar di dunia seni peran muncul mengerahkan segala kemampuannya. 

Ada Ario Bima sebagai Sultan Agung yang bijaksana dan sangat  berwibawa dengan perakawan kekar serta gagah perkasa. Gue kepincut banget. Tidak pernah rasanya menemukan karakter secocok ini dengan aktor yang memerankannya. Atau mungkin hanya perasaan gue pribadi, ya? Hehe

Marthino Lio, juga tidak kalah memesona saat berperan sebagai Raden Mas Ranggeng. Bahkan penampilannya disini cukup lebih baik dari sang aktor utama saat karakternya sudah dewasa. Marthino Lio punya kelebihan memosisikan diri sebagaimana remaja pecicilan, labil, dan cukup pundungan. Marthino Lio menerapkan  itu dalam dirinya.

Sebagai Lembayung muda. Putri Marino  yang sebenarnya tidak lebih bagus dari karakter dewasanya. Mungkin, kurang gimana ya. Masih sedikit malu-malu kucing gitu loh. Penampilannya kurang dikerahkan.

Nah, yang paling gue suka dari Sultan Agung ini adalah Karakter Lembayung dewasa. Yang diperankan oleh Aktris cantik nan tangguh, Adinia Wirasti yang sosoknya memang cocok sekali memerankan Lembayung yang tangguh.

Lalu ada Lukman Sardi sebagai Tumenggung Notopojoatau paman kandung dari Sultan. Disini, tidak ada yang lebih menarik selain karakter yang diperankan aktor papan atas tersebut. Awalnya gue pikir, karakter ini adalah salah satu villains yang membuat Mataram nyaris hancur. Namun ternyata, setelah ditonton dua kali. Karakter ini justru memberikan kesan lebih heroik daripada sang sultan sendiri. Karena karakter ini lebih mementingkan taktik daripada hanya ego tidak ingin di jajah semata. Katanya, nyawa para adipati dan rakyat itu lebih berharga jika memutuskan untuk memilih jalan damai. 

Ada juga karakter Kelana, yang dimainkan oleh aktor Teuku Rifnu Wikana. Yang mana karakternya dalam film ini memang sangat mencuri perhatian untuk gue pribadi. Sebagai pengawal pribadi Sultan yang setia bahkan sejak masih remaja. Karakter Kelana ini rasanya semakin menambah bumbu permasalahan dalam cerita ketika Sultan Agung terkesan mengkhianatinya. Mantaps.

Sebagai cameo penting, Aktor senior Deddy Sutomo ( Kiayi)  dan Cristine Hakim ( Ibunda Sultan Agung)  menjadi landasan dasar mengapa film ini begitu bersahaja dan memesona meski dengan segala kekurangannya.

2.      Setting

Baik tempat, suasana, dan waktu. Menunjukan bahwa film ini tidak digarap asal-asalan. Teknik pengambilan gambar yang mengeksplore pedalaman tanah jawa, serta keraton. Pada akhirnya menjadi nilai lebih untuk film. Karena meskipun tidak sempurna dan masih kurang disana-sini, tetap saja sedikitnya masih berhasil menggambarkan bagaimana kehidupan pada masa kerajaan Mataram 3,5 abad silam.

3.      Sinematografi.


Meski di awal cerita, mas Hanung tidak memberikan sesuatu yang berbeda dan cukup memanjakan mata. Namun saat memasuki akhir cerita, dimana pada bagian perang besar ini. Mas Hanung bermain di pengambilan gambar yang sinematik.

·         Kekurangan Film

                        Film ini sebanarnya mendapat banyak kritik baik dari segi proses pembuatan, hingga pada bagaimana orang awam merasa sangat jenuh saat menontonnya.

            Gue mencari beberapa artikel tentang film ini, dan hasilnya memang cukup banyak orang yang memberikan kritik sampai membuat berbagai kontroversi terhadapnya. Dari mulai sindiran keturunan keraton yang protes prihal kostum yang digunakan oleh Ario Bima, keselarasan fakta sejarah, dan bagian ketika perang melawan VOC yang pada saat itu harusnya pasukan Mataram juga membawa serta senapan atau senjata bom seperti para lawan. Namun mas Hanung justru hanya menampilkan alat –alat tradisional Indonesia saja.

            Tapi terlepas dari semua pujian, kritik, dan kekurangan terhadap Sultan Agung ; Tahta, Perjuangan, dan Cinta ini. Gue pribadi sangat jatuh cinta pada setiap hal yang ada dalam film. Ini film terbaik yang pernah gue saksikan. Akhirnya Indonesia mau mulai membuka diri terhadap genre kolosal. Terimakasih banyak kepada penulis naskah, yakni Ifan Ismail, BRA Mooryati Soedibyo, dan Bagas Pudjilaksono. Serta sutradara tercinta, Hanung Bramantyo. Dan tidak lupa, kepada perusahaan produksi yang bersedia mewujudkan semua ide cemerlang penulis dan sutradara ( Mooryati Soedibyo Cinema) .

* Jika menemukan nama Ario Bima, itu  maksud gue Ario Bayu. 

I LOVE YOU 3000 RADEN MAS RANGSANG. 4,5 / 5 BINTANG.  
           
           


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Film The Gangster, The Cop, The Devil (2019) ; Adaptasi Kisah Nyata Terbaik

Review Film The Villagers (2019) ; Misteri Skandal Besar di Kota Kecil

Review Film 7 Alasan Mengapa The Handmaiden (2018) Begitu Memesona