Film Bumi Manusia Dari Sudut Pandang Non Fans
Sutradara : Hanung Bramantyo
Penulis Naskah : Salman Aristo
Pemeran :
Iqbaal Ramadhan Sebagai Minke /
Raden Mas Tirto Adjie
Mawar Eva De Jogh Sebagai
Annelies Mallema
Sha Ine Febrianty Sebagai Nyai
Ontosoroh
Ayu Laksmi Sebagai Ibunda Minke
Donny Damara Sebagai Ayahanda
Minke
Bryan Domani Sebagai Pandji Darma
Giorgino Abraham Sebagai Robert
Mallema
Jerome Kurnia Sebagai Robert
Suurhoft
Distributor : Falcon Pictures
Durasi : 180 Menit
Tentang :
Minke
adalah pribumi yang acapkali mendapat banyak perhatian ketika pemuda tersebut
memang berprestasi dan punya pola pikir yang modern dibanding pribumi atau
bahkan Indo (Campuran) , dan orang eropa murni.
Kemudian
Minke bertemu dengan seorang gadis campuran bernama Annalies Mallema, dan
pertemuan keduanya mengawali kisah utama. Dimana semua kekangan, diskriminasi,
dan ketidaksetaraan kedudukan nyaris berhasil dilibas oleh pemuda macam Minke.
Tentu saja semua itu terjadi karena didasari oleh perasaan cinta yang tumbuh
lebat diantara keduanya.
Lantas
mampukah Minke mempertahankan kehormatannya sebagai Pribumi yang seringkali
disamaratakan dengan hewan, atau Minke akan tetap berada dalam posisi tertekan hukum-hukum belanda yang memuakan tersebut?
Review:
Gue
merasa bahwa diri ini adalah satu-satunya orang yang menaruh ekspektasi tinggi
kepada film garapan Sutradara Hanung Bramantyo. Entah mungkin karena gue punya
latar belakang penggemar mas Hanung, atau bisa jadi gue juga merupakan salah
satu pembaca buku Pram.
Ketika
baru saja merebahkan diri di kursi Bioskop. Jujur, gue berusaha untuk mengatur
antusiasme terhadap film ini sebab tak ingin merasa kecewa. Dan ternyata gue
berhasil.
Diparuh
pertama, film ini terasa menyegarkan. Hal ini tetiba gue rasakan kala layar dan
narasi mulai memperkenalkan satu persatu karakter. Dimulai oleh Dilan, -eh-
Minke yang satu Indonesia pernah menghujat pihak Falcon karena telah
merekrutnya sebagai Minke. Dilan – Astagfirullah- Minke memulai film ini dengan
suara khasnya yang sok di Jawa-jawa medokin demi membacakan narasi dari sudut pandang seorang Pribumi. Hm, boleh
juga.
Selanjutnya,
gue cukup terkejut begitu mengetahui bahwa pemeran Suurhoft rupanya berparas
sangat rupawan. Wong Londo, tapi masih punya kemanisan khas pribumi. Padahal,
dalam bayangan gue. Wajahnya tirus, hidungnya mancung, dan alisnya super tebal ala-ala pangeran Disney .
Hm, kejutan sekali ya.
Lho
kok, harusnya kita bahas Ann dulu ya? Hahaha
Yowes.
Gue sangat suka penampilan Mawar disini. Yang terbayangkan tentang Annalies di
dalam bukunya. Adalah kecantikan paripurna khas ratu-ratu belanda. Atau yah,
pernah juga terbersit bahwa dia akan secantik Lilly di film Cinderella ( 2015)
Silam. Walah, ternyata tidak juga toh. Baiklah, ternyata Mawar punya kecantikan
yang menawan. Cantik banget deh pokoknya. Itu point tambahan untuk Mawar
sebagai visual nyata seorang Annalies. Namun yang menjadi sorotan disini
adalah, akting aktris muda yang satu ini sesuai dengan pembawaan Ann dalam
novelnya. Seorang gadis campuran yang polos, rapuh, riang, dan tegas dibeberapa
kesempatan mampu dibawakan dengan baik dan apik oleh Mawar. Good Job, mbak !
Nah,
sekarang baru gue akan bahas bagian dimana gue cukup mengasihani Iqbal karena
dalam beberapa kesempatan dia tampak seperti piguran alih-alih peran utama. Ine
Febrianty lah penyebabnya. Gue pikir aktris tersebut mampu mengambil alih fokus penonton lebih banyak ketimbang Iqbal.
Gue sendiri sangat menyukai fakta bahwa peran Nyai Ontosoroh yang memang sudah
memikat hati sejak masih dalam novel, berhasil diperankan dengan amat baik oleh
aktris senior tersebut. Matur Suwun, Bu !
Sisanya?
Gue
menaruh hati dan harapan kepada pemeran kakaknya Annalies yang diperankan Gio.
Aktor berparas tampan itu juga cukup layak memerankan kakak biadab yang super
duper menyebalkan dan bikin pengin nonjok tujuh turunan itu. Lalu Brayn yang
juga berjiwa pribumi seperti Minke, walau mukanya berkiblat ke belanda. Para
cameo yang walau keliatan banget baru pertama kali berakting, setidaknya mereka
sudah bersusah payah.
Sinematografinya
bagaimana? Maknyus ! Gue serasa sedang menonton wonderfull Indonesia. Hehe
Ada
bagian yang cukup inovatif. Dan juga menyenangkan sekali saat disimak. Saat
kamu menontonnya, kamu akan paham. Meskipun memang benar, seperti biasa bila
disetiap film mas Hanung itu, Greenscreen-nya selalu sedikit ngangkang alias
kurang mulus.
Beralih
kepada hal yang gue sukai selanjutnya. Gue suka sekali soundtrack film ini.
Karena jujur, jika tanpa suara Legend Bang Iwan Fals, Once, dan aa Fiersa.
Adegan dramatis yang ditampilkan nyaris akan berakhir garing.
Scoring
musiknya sendiri lumayan. Ada bagian saat musik mewakili perasaan bahagia,
gembira, sedih, tegang, atau bahkan putus asa. Yang akan digaris lagi bawahi disini,
anehnya efek suara dan Scoring musik ini selalu mengingatkan gue pada nuansa
Disneyland misalnya. Atau film horror atmosferik begitu adegan memasuki bagian
tegang dari konflik utama. Entahlah, mungkin hanya perasaan gue saja.
Gue
suka sekali bagaimana transisi setiap adegan dibuat. Atau saat masa lalu dari
Nyai Ontosoroh di narasikan oleh sang putri . Mantaps JIWA.
Selanjutnya.
Ada beberapa hal yang tidak gue suka dari film ini.
1. Beberapa set terkesan terlalu modern hingga gue merasa kurang
ngeh kalau ini adalah film kolosal. Kadang gue lupa aja gitu, ini adalah film
yang mengambil era 1800-an.
2. Penampilan Iqbal disini sayangnya cukup bikin dilematis. Dia itu
pasti syutingnya mood-moodan deh. Soalnya, di paruh pertama, gue merasa Iqbal
cukup meyakinkan saat mewakili Minke dalam versi visual nyata. Lalu
dipertengahan film, gue begitu terenyuh saat adegan dimana Minke secara
emosional menceritakan bahwa dia bukan lelaki pertama yang tidur bersama Mawar.
( Maaf gais spoil ya ) Disini, gue nyaris saja mengakui bahwa aktor muda ini
cocok memerankan Minke. Hingga memasuki akhir film, semuanya pecah. Maaf balee,
kamu belum pantas menjadi Minke. Aktingmu bagus, saat bagaimana kamu malu-malu
kucing pacaran sama Mawar, saat kamu menangis karena mendengar sendiri
kekasihmu pernah dilecehkan, saat kamu gelagapan bertemu Romo, dan saat kamu
pertama kali bertemu dengan Nyai. Gue suka itu bal, tapi... gue pusing dan
nyaris keluar Bioskop tatkala kamu terlalu berlebihan dalam kondisi karakter
harus emosional. Kamu kurang tulus bal dalam hal itu. Melihatmu berhadapan
dengan mesin ketik, naskah-naskah artikel, dan juga progres persidangan. Kamu
kok tampak seperti anak SMP yang gak sengaja terjebak dalam sebuah rumah mewah,
lantas dipaksa jadi suami anaknya orang kaya- karena gak punya temen- dan Cuma meng-Iyakan
segala ucapan Ibu mertuamu. Hehehe
3. Tidak seperti era Sultan Agung (2018), adegan baku hantam di
film ini dirasa kurang gereget. Kelihatan sekali bahwa setiap adegan terkesan sedang di Oke
Ready Action –kan oleh mas Hanung. Gimana ya? Ya, kurang aja deh pokoknya.
4. Sekali lagi. Gambaran visual era kolonial belanda. Tahun
1800-an. Film ini cukup hebat menghadirkan masa itu secara nyata bagi kita yang
tidak pernah melewati era tersebut secara langsung. Namun, tetap saja. Ada
beberapa bagian yang gue rasa, dia terlalu modern. Terlalu nyata hingga sempat
terbersit perasaan bahwa “ Ini adalah pertunjukan kolosal yang bertempatkan di
masa sekarang” . Kasus ini, pernah gue rasakan ketika menonton drama korea
Hwarang ( KBS) yang menceritakan ksatria pada zaman Silla ( Tahun 1400) di
korea sana. Ksatria, kolosal, tapi kok nuansanya modern gitu .
Ah,
sudahlah. Gak ada film yang tak lepas dari kontroversi. Begitupun film ini yang
bahkan sejak belum rilis resmi saja, dia sudah menarik banyak komentar julid,
jahat, dan kritik pedas dari warganet seperti kebanyakan film garapan Mas Hanung lainnya. Walau beberapa diantaranya, gue setuju
juga sih. Misalnya untuk komentar tentang Mas Hanung yang berbakat sekali, itu fakta, dan semua orang tahu. Tetapi mas
Hanung kurang memberikan sentuhan-sentuhan baru pada setiap karyanya. Itu
terasa sekali. Tidak ada yang spesial dari film-film barunya. Polemik pemilihan
Iqbal yang terjanyata, terbukti. Hingga protes atas kurangnya proses riset pada
kostum pada masa itu membuat Bumi Manusia penuh sesak oleh kontroversi.
Tapi
terlepas dari itu semua. Gue akui, Bumi Manusia adalah film terniat tahun ini.
Dia layak bersanding dengan film-film bagus lain di festival luar negeri sana. Bumi
Manusia, layak direkomendasikan dari mulut ke mulut.
4
/ 5 Bintang.
Komentar
Posting Komentar