TAHUN TERBAIK USAI MAMAH PULANG







 

            Aku memang tidak pernah melabeli diri sebagai anak senja. Yang kalau lembayung sudah menampakan dirinya, bukannya bergegas shalat magrib, eh malah ngopi-ngopi santai sembari mendengarkan musik pamungkas. Aku suka sih, tapi kalau menjelang magrib. Takut juga kan, ya? Lagi memandang langit kemerahan, tetiba ada kalong wewe numpang lewat. Ih, serem.

            Namun sore hari ini berbeda. Entah kenapa terasa begitu damai. Dari kejauhan sayup terdengar lantunan takbir anak-anak yang sering menimba ilmu agama di surau. Mereka terdengar sangat bersemangat kala melapalkan asma Allah yang agung.

            Ah, perasaan apa ya ini? Tanyaku pada diri sendiri. Sebab rasanya, sudah lama sekali aku tak merasakan gelenyar rasa ini. Setelah hanya ada kepedihan, keresahan, dan muram durja yang menghimpit jiwa. Kesulitan duniawiku seolah bebas begitu saja. Kekangan yang selama ini menghentikannya keluar dari dalam hatiku, ikut hilang.

            “Ateu, ayo kita ke rumah Aya !” Keponakan Britishku berseru tak sabar, padahal aku sedang asyik meneguk kopi manis dihadapanku.

            “Tunggu, solat magrib dulu ya.”

            Mereka tidak merengut seperti kebanyakan anak kecil lainnya begitu rencana mereka harus tertunda. Hanya mengiyakan. Seperti orang dewasa yang paham bahwa shalat adalah tiang agama.

            Tak berselang lama, kami pergi menuju rumah Aya yang hanya berjarak lima meter dari rumah. Itu adalah keponakanku yang lain, putri dari sepupu perempuanku. Namanya Ayra, alias soraya, alias kuya, alias aya-aya he.

            Disana cukup banyak hal yang terjadi. Selain dari Aya yang berkenalan dengan sepupu asingnya. Aku juga mengobrol banyak dengan sepupuku. Dengan mulut penuh kudapan hasil olahan bibi.

            Wah, sudah waktunya makan malam. Sekalian buka puasa yang tertunda karena di rumah, kakak perempuan pertamaku harus memasak dahulu. Jadi, yang harus kami lakukan sekarang adalah pulang tanpa sempat menculik Aya.

            Di rumah. Ada makanan. Minuman ringan. Makanan ringan. Buah.

            Sungguh, bukan kebahagiaan biasa. Ungkapku dalam hati. Ini rasanya seperti syurga. Melebihi kehangatan yang telah lama kuidamkan selama dua tahun terakhir terkurung diantara kesunyian yang meranggas.

            Ada kakak pertamaku, memboyong keluarga kecilnya. Abang ipar lama, dan dua keponakanku yang lucu-lucu. Lalu bapak yang nampak semakin tua. Serta, yang paling menyenangan disini adalah ada abang ipar baruku. Dia resmi menjadi bagian keluargaku setelah meminang kakak perempuan terakhirku dua bulan lalu.  

            Jiwaku merasa bebas berkat itu. Tak ada lagi perasaan ‘andai ada mamah’ terbersit dalam benak. Semua nyaris kulupakan begitu saja. Hingga kemudian, ada penyesalan setelahnya. Apa aku setega ini pada mamah? melupakannya? Yang benar saja, sukma !

            Dua lebaran sebelumnya, aku sempat menangisi ketidakhadiran mamah diantara kami dan takbir yang menggema. Diantara gemintang yang memesona. Pun pernak pernik hari raya yang selalu akan dirindukan itu. Aku menangis dari balik selimut. Bulir air mata yang lantas membasahi bantal , membuat wajahku kedinginan sepanjang malam setelahnya.

            Sejak sore, aku sebenarnya sudah mengkhawatirkan hal itu akan berulang. Tetapi nyatanya, aku baik-baik saja. Dan itu membuatku jauh lebih tersiksa. Mengapa aku baik-baik saja? Apakah aku sudah merelakan kehadiran mamah diantara kami? apakah aku sudah melupakannya? apakah harapan-harapan kehadirannya dalam mimpiku telah kandas?

            Aku merasa bersalah.

            Namun disisi lain, ini berita baik bukan? Aku tidak perlu menangisi kepergian mamah lagi? Aku tidak perlu merindukannya lagi dengan sensasi sakit hati mendekati ajal itu? Depresi dua tahun terakhir mulai sirna. Aku merasa sangat bahagia sekarang.

            Karya Tulis Ilmiah, KKN, dan Skripsi di depan mata. Dengan jalur yang sangat berliku dan selalu membuatku merasa lemah, lelah, dan tak berdaya. Semua itu toh akan tetap kulalui meski tanpa kehadiran mamah, ‘kan? Lalu apa yang kuharapkan? Maka, aku memutuskan untuk baik-baik saja.

            Masa remajaku yang berantakan, pun dengan sisa kuliahku yang menyedihkan. Setidaknya tidak jauh menyakitkan dari hari Jumat itu. Hari paling menyakitkan yang pernah ku lewati sepanjang hidupku.

            Maka, aku baik-baik saja. Setidaknya untuk tahun ini.

             

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Film The Gangster, The Cop, The Devil (2019) ; Adaptasi Kisah Nyata Terbaik

Review Film The Villagers (2019) ; Misteri Skandal Besar di Kota Kecil

Review Film 7 Alasan Mengapa The Handmaiden (2018) Begitu Memesona