AKU

 





Aku enggak tahu bagaimana bisa diriku berakhir menjadi seperti ini ? Diriku sering tertekan oleh hal-hal kecil, bertemu goncangan ringan saja, sudah nangis, marah, dan putus asa. Suatu hari, aku menyadari bahwa di sisiku sudah tak ada yang mau menjadi temanku.

Usai kutelusuri rekam jejak dalam memori ingatan, ternyata benar. Aku sangat toksik jika berteman dengan orang lain. Aku baru menyadari bahwa selama ini, diriku sering menyakiti perasaan orang lain, tanpa tahu bahwa setiap kata dan perbuatan yang kulakukan rupanya menjadi duri dalam daging bagi temanku.

Aku tak pernah menyangkan bahwa ternyata mereka sering sakit hati olehku. Dan itu sangat menyakitkan bagiku, mengetahui fakta bahwa selama ini aku sudah menyakiti orang terkasih, adalah level tertinggi sebuah penyesalan dan rasa sakit hati yang kurasakan sebagai seorang manusia.

Aku menatap langit-langit kamar yang gelap. Ada sedikit ketenangan di sana. Aku tercenung lama. Bertanya tentang banyak hal kepada Allah, ya Rabb mengapa aku begini ? Setelah kuingat sendiri, aku begitu buruk. Tak ada yang bisa kuharapkan dari diriku sendiri.

Aku pemarah, mudah sakit hati, mudah tersinggung, mudah putus asa, mudah overthinking, mudah takut, gelisah, gemetar saat harus tampil dihadapan orang. Bahkan aku sangat pengecut jika harus berhadapan dengan dosen pembimbingku.

Pemikiran yang terus saja mengganggu. Aku malu. Aku selalu membuat keluargaku membatasi kasih sayang mereka padaku. Aku hanya beban bagi mereka. Itu benar. Tetapi, aku tak sanggup jika harus menerima semua tekanan dalam satu waktu.

Aku telah menghindari banyak orang dalam kehidupanku sehari-hari. Karena sikapku yang buruk, perkataanku yang menyakiti, mereka menghilang dalam hidupku secara bertahap. Bahkan, aku takut untuk berkata bahwa hati ini merindukan sahabat dan teman-temanku. Aku merindukan mereka, tapi aku takut bahwa aku akan menyakiti mereka lagi.

Yasudah, kalau begitu ubah saja sikapmu menjadi lebih baik?

Itu mudah. Pikirmu? Serius, ini semua diluar kendaliku. Bahkan, agama saja tak mampu menanngulanginya. Percaya atau tidak, meski shalatku kadang terlambat. Tapi jauh di lubuk hatiku. Aku tak pernah punya hati yang kosong. Aku selalu beristigfar saat sedang marah. Aku selalu mengingat Allah.

Entahlah. Sepertinya aku harus bertemu dengan psikiater. Aku sudah takut pada diriku sendiri. Aku tidak bisa mengendalikan diriku sendiri. Tapi ada satu hal yang selalu aku syukuri. Hal ini rasanya menjadi satu-satunya harta berharga bagiku. Aku begitu Bahagia bisa memliki keluarga yang selalu mendukungku. Kedua kakak yang selalu membantu dikala aku punya masalah, bahkan terkadang merekalah yang menyelesaikan masalahku tanpa banyak bertanya. Aku mendapat kehidupan yang sehat dari mereka. Kebutuhan sehari-hariku selalu terpenuhi. Ponselku rusak, kakak membelikan yang baru. Aku pengin pulsa, kakak mengirimkannya, aku pengin jajan, kakak transfer. Aku butuh laptop kakak meminjamkannya. Aku selalu diajak ke tempat yang mungkin takkan pernah bisa kukunjungi dalam waktu dekat. Sungguh, aku sangat bersyukur. Ketika aku sedang negative. Kebahagiaan yang mereka berikan padauk selalu menjadi pelipur lara. Selalu menjadi gerbang kewarasan. Bahwa, aku masih berharga. Aku akan terus berharga selamanya. Aku takut kehilangan mereka. Aku berharap tidak akan pernah berpisah dengan mereka. Aku berjanji akan menjadi adik yang berbakti. Meski terkadang sulit sekali mengendalikan emosi kalau lagi berantem.

 

Ya Allah.

Semoga engkau senantiasa memberikan Kesehatan kepada abang-abang iparku, kepada kedua saudariku. Kepada ketiga keponakanku. Kepada Bapakku. Dan Aku. Kepada sahabatku, Rina, Fuji, Kristin. Kepada saudara sepupuku, Nida, Teh Via, Ayra, Auh, Hana, dan Kona. Aaamin ya Allah Ya Robbal alamin.

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Film The Gangster, The Cop, The Devil (2019) ; Adaptasi Kisah Nyata Terbaik

Review Film METAMORPHOSIS (2019) ; Tipu Muslihat Lelembut Khas Korea

Review Film The Villagers (2019) ; Misteri Skandal Besar di Kota Kecil