Menyoal Tentang Dosen Rasa Guru






Sekolah, 2015.

            Kala itu, aku termenung sendirian. Meratapi mengapa diriku tak pernah bisa meraih nilai bagus - diatas empat puluh- dalam mata pelajaran eksakta. Itu sungguh aneh. Pertanyaan yang seringkali ku tak punyai jawabannya. Mengapa aku bodoh, sementara kakak-kakak perempuanku selalu Juara satu di sekolah ini?

            Jawabannya jelas, semua itu terjadi karena sejak kecil aku benci belajar. Hehe

            Bersama  berlalunya waktu, aku hanya diam saat orang-orang mulai membandingkanku dengan kedua kakakku yang kebetulan satu almamater denganku itu.

 Tak apa, yang terpenting aku juga menyukai kedua kakakku. Jangankan mereka, aku sendiri sangat mengagumi kedua kakakku dengan segala pesonanya tersebut. Ah, lagipula, pada dasarnya juga aku tak ingin setenar mereka. Kasihan bila kemudian nama mereka tercoreng karena ketidakmampuanku dalam mengimbangi prestasi keduanya, kan? 

            Tapi...

            Lama kelamaan, aku semakin menyadari bahwa kondisiku tidak baik-baik saja. Kebodohan -selain untuk mata pelajaran Agama dan Bahasa Indonesia-  bikin aku harus menelan beberapa kalimat sarkas. Yang kuakui, kalimat mereka memang benar adanya. Membuatku sedikit tahu diri untuk keranjingan memperbaiki kebiasaan belajarku di Rumah sepulangnya dari sekolah. Namun bagaimanapun, tetap terasa menyakitkan hati.

            Hasilnya. Pada sebuah ulangan harian Matematika. Akhirnya aku mendapatkan rekor nilai terbesar setelah empat semester berada di peringkat paling bawah. Aku dapat 65 !

            Siapapun takan percaya bahwa aku sangat bodoh dalam hal hitung-menghitung. Rumus-rumus, dan logika. Otakku selalu menyerah lebih awal bila bersangkutan dengan semua itu. Jadi ketika mendapatkan nilai 60, aku kegirangan bukan main. Seolah itu adalah surat keterangan lulus beasiswa ITB.

            “ Wah tumben dapet nilai gede,” Temanku berkomentar saat hatiku masih berdebar memegang hasil ulangan itu. Tapi, hey, kenapa rasanya seperti sedang diejek ya?

            “Ayolah.   Mari urusi kehidupan masing-masing saja Bitc* !?”  Aku mengeluh dalam hati.

            Tapi tentu saja kalimat itu tersangkut di kerongkongan.  Mana berani aku yang bodoh ini melawan kata-kata orang terpintar di seantero sekolah. Lagipula, selama ini dia juga sering memberikan contekan padaku. Jadi, diam adalah emas. Menjadi alternative terbaik.

            Barulah kemudian aku percaya. Apa yang kulakukan, selalu berujung sia-sia. Kerja kerasku- yang kurang keras- itu tak membuahkan hasil apapun. Kenyataannya, aku selalu tertinggal sepuluh langkah lebih lambat dari teman yang lain.

            Ketika aku memutuskan untuk menyambangi meja Guru bila ada materi yang tak kumengerti, sang Guru memang menjelaskannya. Ramah. Baik. Tapi tetap terasa berbeda auranya jika dibandingkan dengan saat beliau menghadap si ranking satu seantero sekolah tadi. Lebih... bagaimana ya menjelaskannya, pokoknya lebih agak manis.

            Aku menghela napas dalam. Dan itu adalah terakhir kalinya aku menyambangi meja Guru. Sejak hari itu, aku tak pernah melakukannya lagi. Aku menyerah dengan cara memaku dalam-dalam  perspektif ; bahwa beberapa guru sepertinya memang lebih menyukai murid yang pintar di otakku.

            Baiklah, kalau begitu.

            Kesimpulannya, Guru adalah dia.  Guru hanya mereka yang bekerja di lingkungan pendidikan. Guru tidak peduli pada yang bodoh, eh peduli sih, tetapi yang lebih pintar akan diutamakan. Tidak semua. Aku menekankan tidak semua Guru begitu.

Tapi bagiku, Guru hanya sebatas itu.

            Kemungkinan besar, aku hanya keliru tentang satu hal.  Kupikir semua Guru itu serupa Ibuku. Ibuku yang Guru, kuamati tak hanya menggurui saja, tapi beliau juga selalu memperhatikan satu persatu muridnya, mengurusi mereka secara bathin, diselaminya satu persatu masalah setiap murid, lantas menyelesaikannya dengan tenang dan nyaman.

            Ya, aku memang keliru tentang itu.



Kuliah, 2020.


            Aku setengah percaya. Pada akhirnya, diri ini tunduk pada aturan kampus. Dilarang telat lebih dari dua jam ( Haha), dilarang bolos ( kecuali sakit bathin) dilarang ngutang ( kecuali beneran gak punya duit) dan dilarang lainnya,  yang lambat laun mulai kuikuti dengan tanpa tapi.

            Lihatlah, aku sudah duduk bersidekap dengan sidik jari teridentifikasi sistim absen digital tepat tiga puluh menit sebelum masuk. Dan seperti biasa, aku berpapasan dengan satu-dua teman angkatanku yang sedang bimbingan. Ini bukan kampus pribadiku, maka sudi tak sudi, diri ini akan senantiasa berpapasan dengan mereka yang tengah menyelesaikan skripsinya.

 Jika dia Jurusan tetangga, aku hanya akan memberinya semangat. Sebatas itu, karena faktanya kami tidak akrab , bukan ? Hanya sebatas teman angkatan saja. Pernah saling bertukar pilu di momentum Bela Negara yang level kesengsaraannya dahsyat itu. Sebatas itu.

            Namun lain cerita bila yang kutemui adalah teman sejurusan, sekelas, dan seperjuangan. Aku akan bertanya banyak hal padanya, tentang progres skripsinya itu sendiri, tentang hal kecil dalam kehidupannya. Dan banyak lagi.

            Sampai kemudian, pertanyaanku sudah habis. Serta gilirannya juga telah datang, sang dosen pembimbing mulai memanggilnya. Sementara aku, menghela napas ringan.

Iya, napasku sudah tidak seberat ketika pertama kali merasa tertinggal teman satu angkatan. Apalah aku ini, orang lain sudah skripsi, tapi aku masih harus kuliah. Perlahan tapi pasti sirna dalam relung hatiku.

            Kini aku pasrah saja. Berusaha memelihara semangat dan keyakinan bahwa aku akan menjadi Sarjana. Walau apa yang selama ini kutakutkan, benar-benar terjadi lagi juga. Aku terasing bersama orang asing yang memang asing didunia kampusku.

            Tapi sejak Makrab (Malam Akrab) , wejangan dan tiga patah kata dari kedua dosen  yang kelasku cintai mulai meluruhkan segala ragu dan takut. Berkat mereka, aku belajar pasrah atas semua kehendak Allah dan menjalani semuanya tanpa banyak ketakutan lagi.

            Teman sekelasku pamit.

            Lalu aku membeku sendirian. Agak linglung, termakan kalimat pamungkasku saat sedih “ Kenapa hidupku enggak kayak orang lain” yang sejurus kemudian lenyap begitu aku  mulai mengingat nikmat Allah lainnya, dan hatikupun lemas lagi.

            Tetapi dua orang yang berbincang denganku barusan malah berpapasan dengan satu diantara dosen kesukaan anak Jurnalistik angkatan 2016, yang tadi sempat kusinggung itu.

            Mereka memberi salam seperti seumumnya mahasiswa kepada dosen. Karena adegan itu tepat terjadi dihadapanku, maka sudah seharusnya aku ikut nimbrung untuk sekadar memberi salam pada sang dosen.

            Tapi...

            Pak Dosen sedang serius sekali bertanya tentang progres skripsi dua anak didik di depannya. Dan itu secara otomatis membuatku urung untuk memberi salam, aku langsung menarik lagi tubuhku untuk kembali duduk di posisi semula.

            Ah, mungkin Bapak tak akan melihatku. Lagipula aku juga tak punya hal penting yang layak dibahas seperti kedua temanku itu. Pikirku, melapangkan hati. Karena tak ingin terjebak dalam posisi yang canggung nantinya.

            Maka aku kembali duduk. Bersandar dan kentara sedikit memalingkan wajah dari mereka bertiga. Fokusku teralih lagi pada novel – yang untungnya selalu ku bawa- sebagai teman kuliah sehari-hari.

            Dalam hati aku berharap, semoga Pak Dosen tidak menganggapku mahasiswa sombong dan tidak sopan karena ulahku ini. Aku mulai meneguhkan perasaanku, biar tak ambyar.

Diantara semuanya, aku sangat benci tak dianggap.

Namun aku percaya pak dosen ini sangat baik, pada kami semua. Dan untuk saat ini, wajar saja jika teman-teman yang berkepentingan dengan beliau akan lebih diutamakan.

Sialan, KLASIK SEKALI !

Padahal anggapan bahwa Dosen itu manusia kaku dan selalu ingin dihormati, tanpa mengayomi serta membimbing (Kecuali skripsi) mulai redup seiring dengan pertemuanku bersama tiga sosok dosen panutanku menjelang semester terakhir berakhir ini.  Apa boleh buat, mungkin ini akibatnya bila terlalu menggantungkan harapan pada manusia.

Meskipun aku agak iri, dan jujur pada bagian ini mulai berkecil hati. Terduduk lesu, agak sedikit kecewa tidak bisa merasakan hal yang sama. Tapi paling tidak, Pak Dosen sudah berbaik hati padaku selama ini. Itu sudah cukup bagiku.

            Aku melanjutkan aktivitas membacaku. Umpatan demi umpatan saling bersahutan, otak dan nuraniku berdebat begitu lensaku menyentuh bagian akhir cerita. Bangsat, keren banget ini penulis. Endingnya sangat mengejutkan. Diriku semakin pasih bersumpah serapah seiring dengan sumber tontonan youtubeku yang adalah Uus Komika.

            Namun hey, aku melirik kedasar lantai, ada sepasang sepatu mahal disana, melangkah ke arahku, dan ikut duduk di bangku yang sama.

            “ Lagi baca apa, Sukma?” Suara itu ramah, namun menggetarkan.

            Pak Dosen.

            Aku kehilangan kewarasan sepersekian detik. Iya, mungkin ini agak berlebihan. Tapi sungguh, ini sebuah kejutan bagiku. Mengingat, aku tak pernah mempunyai riwayat spesial dalam hal apapun.

            Sejak dulu, Guru tak pernah melirikku barang sejenak, mereka hanya fokus pada yang pintar-pintar saja. Seperti yang telah kujelaskan panjang lebar sebelumnya.

            Tapi kini? Lihatlah !

            Seseorang bersetrata tinggi di kampus menghampiriku, memilih duduk bersamaku. Ya Rabb, apa aku tidak salah lihat? Aduh, apa yang harus kusampaikan sebagai jawaban baginya? Aku takut salah bicara.

            “ Ini Pak, antologi cerpen” Kutunjukan buku itu kepadanya, biar beliau yang mengenali sinopsis serta siapa penulisnya.

            Aku mulai meriang, tidak nyaman sekali rasanya. Ah, coba bayangkan saja bagaimana posisimu bila tetiba dosenmu yang selama ini seringkali berbicara di depan kelas secara formal mendadak duduk disampingmu, menyapa dengan ramah.

            Jujur, bagiku semua masih terasa canggung. Tetapi demi menghormati kebaikan hati Pak Dosen yang dengan senang hati menghampiriku meski beliau sebentar lagi akan mengajar, pada akhirnya aku mulai memberanikan hati menceburkan diri dalam percakapan. Lantas selanjutnya tertenggelam bersama keseruan yang beliau ciptakan.

            Ngomong-ngomong, Pak Dosen yang satu ini memang hebat sekali dalam mengenali setiap Mahasiswanya. Selain nama, beliau paham kronik hidup para anak didiknya.

 Seperti mereka yang tengah berkutat dengan skripsi, pembahasan ngobrol diantaranya akan tentang itu. Lalu untuk yang sibuk mempersiapkan magang, demikianlah diantaranya fokus membahas seputar itu. Dan bila bersamaku, pak Dosen mulai akan membahas sebagian besar dunia literasi. Beliau sepertinya paham sekali bagaimana memulai percakapan Bersama orang berbeda dengan objek pembahasan yang berbeda pula.

            Aku yang semula tergagap. Kini mulai melemas dengan sendirinya, meski lebih banyak menyimak. Sesekali diriku berkomentar, bahkan aku sempat-sempatnya menolak pendapat beliau tentang sebuah buku penulis best seller. Yang kataku, buku dan gaya Bahasa sang penulis sangat terasa bertele-tele. Lalu tema berganti menjadi membahas tentang sineas.

            Hingga pembicaraan kami berujung pada kesepakatan yang hangat.

            “ Sukma, kalau punya naskah mah kirim saja ke saya, nanti saya bersedia kok menjadi editor”
            “ Eh, tidak usah pak. Ah, saya malu, naskah saya jelek sekali dan sedikit alay” Balasku, menolak dengan sopan sebenarnya bukan keahlianku. Karena aku jarang menolak tawaran sebagus ini. Inginnya kuterima saja, tapi melihat siapa beliau, sungguh aku tak sanggup mempermalukan diriku sendiri dihadapannya.

            Euh, kan tujuan dikoreksi teh biar kamu tahu apa yang kurang dari tulisan kamu, dengan begitu kamu akan memperbaikinya kan? Jangan sungkan pokoknya.”

            Aku mematung. Euforia menemukan orang yang bersedia memberikan arahan tentang tujuan hidup ternyata begitu nikmat kurasakan. Maaf jika pada bagian ini aku sangat berlebihan. Sungguh. Diriku terharu sekali. Ini pertama kalinya aku merasakan bagaimana rasanya dianggap ada dan dihargai oleh seorang pengajar. Guru. Eh, bukan. Dosen maksudnya.

            Seketika aku merasa seperti jenius ulung. Orang-orang mulai menatapku canggung, sedang apa diriku mengobrol dengan dosen, atau tatapan wah senior tengah berbincang dengan dosen perihal semester akhir mulai berputar-putar dalam imaji yang kuterka. Masya Allah, menyenangkan sekali.

            Enam tahun lalu, khayalan tentang betapa menyenangkan sekali bisa seluwes itu mengobrol dengan Guru, kapan ya aku begitu, pasti dia pintar karena bisa diperhatikan oleh Guru  kini menjadi kenyataan.

            Selepas itu. Sepanjang hari aku menangis. Terlalu mengharu biru. Aku berhasil ! Walau lucu sekali, aku menemukan sosok Guru saat tengah mengenyam bangku kuliah. Hahahha 
    
           

           


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Film The Gangster, The Cop, The Devil (2019) ; Adaptasi Kisah Nyata Terbaik

Review Drama Empress Ki

Review Film The Villagers (2019) ; Misteri Skandal Besar di Kota Kecil