Social Distancing, Solusi Melawan Si Teroris Mungil ; COVID-19
Ketika kalian
sedang membaca tulisan ini, itu berarti saya selaku penulis sudah terkurung di
rumah selama lebih dari lima hari. Mengkarantina diri sendiri dari keramaian,
aktivitas yang melibatkan orang lain, serta hal penting lainnya yang tidak bisa
hanya dilakukan seorang diri. Pemerintah menamai kegiatan itu sebagai Social
Distancing atau media sosial menggaungkannya sebagai #DirumahAja.
Satu bulan terakhir, dunia memang
sedang berduka ditengah guncangan serangan besar yang melibatkan virus sebagai
biang keladinya. Orang-orang ramai membicarakan bagaimana awal mula si wabah
bisa muncul dan berpindah ‘rumah’ seenak hati dari satu jasad ke jasad
lainnya, untuk kemudian memberikan kesedihan mendalam baik bagi penderita
maupun orang sekitarnya.
Di Indonesia sendiri, Wabah virus
yang dinamai sebagai Covid- 19 atau lebih populer dipanggil Corona ini. Pertama
kali diumumkan secara eksklusif oleh Bapak Presiden pada ( 3 / 3 / 20), dengan
dua orang wanita berwarga kenegaraan Indonesia -yang disinyalir baru saja
selesai mengikuti pesta dansa dengan turis asing- sebagai korban pertama di
negara kita.
Saya dapat informasi dari situs COVID19.GO.ID dan memberi informasi bahwa Corona virus itu
merupakan keluarga besar virus yang dapat menyerang manusia dan hewan. Yang
jika menjangkiti manusia, biasanya akan menyebabkan penyakit infeksi saluran
pernafasan, mulai dari flu biasa hingga penyakit serius, seperti MERS dan SARS.
Covid-19 sendiri merupakan coronavirus jenis baru yang ditemukan pada manusia
di daerah Wuhan, Provinsi Hubei, China pada tahun 2019.Maka dari itu,
Coronavirus jenis baru ini diberi nama Coronavirus Disease-2019 yang disingkat
menjadi Covid-19.
Setelah berhasil terekam dan menjadi
modal berita orang-orang media. Pernyataan itu lalu diracik sedemikian rupa dengan
berbagai sudut pandang. Ada yang fokus
ke aktualisasi, siapa yang paling duluan makin eksklusiflah si media. Ada pula
yang memoskuskan diri ke sosok yang terjangkit virus dan mementingkan bagaimana
kronologi penyebarannya.
Terus saja digembar-gemborkan,
hingga kemudian pemerintah kembali melakukan konferensi pers sana-sini demi
menghimbau masyarakat agar tidak panik. Pada bagian ini, tugas Jurnalis memang
demikian. Hanya saja, saya si masyarakat yang terlalu banyak menemukan berita
hoax sejak awal ini sudah kepalang pusing duluan.
Tetapi, Ya Tuhan. Mana mungkin
masyarakat enggak panik?
Setelah terbiasa menyaksikan perkembangan
berita tentang asal sang coronavirus hanya sekitar asal si wabah eksis ; Wuhan,
China. Masyarakat Indonesia jelas akan
langsung ketar-ketir begitu mendapati kabar bahwa virus tersebut telah sampai
di tanah air. Astagfirullah, si mungil sudah di depan mata. Bagaimana ini? Pekik
mereka, khawatir.
Termasuk saya, sih. Masih ingat
sekali, hari itu jantung terasa berdebar. Takut kalau korban selanjutnya adalah
kerabat dekat atau kenalan yang tengah
disibukan dengan kegiatan metropolitan mereka. Tapi saat itu, sejujurnya saya
termasuk orang yang pantang menyerah berdoa agar kekisruhan ini lekas berakhir
dan bumi kembali asri tanpa marabahaya.
Pada masa tatkala pemerintah secara
berangsur mengumumkan penambahan jumlah korban yang terjangkit virus sudah
lebih dari tiga puluh dua orang. Saya sedang berada di rumah kakak perempuan.
Di daerah Cileunyi Wetan. Disana memang belum termasuk kedalam zona merah sih.
Virus itu sepertinya belum mudik ke kota besar lain, termasuk Bandung raya.
Tetapi aneh sekali. Saya yang juga
termasuk kedalam golongan kurang peduli, merasa bahwa kakak sangat berlebihan dalam menghadapi kerusuhan
ini. Pada bagian ini, saya mengakui masih sedikit mengabaikan kiat-kiat
terhindar dari virus. Saya pikir, diam di rumah saja sudah cukup.
Ayolah,
virus itu tidak terlalu berbahaya dibanding demam berdarah. Dalam hati saya
terus mencibir tentang perkara kisruh yang hanya disebabkan oleh media saja.
Media terlalu membesar-besarkan segalanya, membuat masyarakat jadi takut.
Selama tiga hari berada di rumah
kakak. Saya nyaris ingin kabur ketika segala gerak-gerik, diperhatikan olehnya.
Sehabis memegang benda apapun, disuruh cuci tangan, pegang ponsel, cuci tangan.
Pegang remote, cuci tangan. Pegang laptop, cuci tangan. Pokoknya, saya
muak dengan kegiatan mencuci tangan.
Bukannya jorok, bung. Hanya saja,
kebiaasan saya dirumah itu hanya cuci tangan ketika tangan dirasa kotor dan bau
saja. Belum selesai sampai disana. Puncak ceritanya, ketika saya pergi ke
apotek buat beli obat sakit gigi. Jaraknya hanya dua puluh menit dari rumah.
Tetapi saat kembali ke rumah, saya malah disuruh mandi. Padahal sebelum berangkat,
saya mandi dulu. Ya ampun, maka saya memutuskan untuk pulang ke rumah Bapak. Nagreg.
Dan kalian tahu apa yang selanjutnya terjadi?
Di kawasan kampung saya. Sebuah
perkampungan yang orang-orangnya memang punya ponsel. Tapi sepertinya lebih
sudi berselancar di media sosial untuk mengomentari skandal narkoba Vanesa
(Bukan) angel dengan makian ketimbang mengakses portal media terpercaya terkait
isu pandemik ini. Haduh.
Sesampainya saya di rumah. Rupanya
orang-orang masih sibuk dengan kehidupan normalnya. Ada yang masih mengikuti
pengajian rutin mingguan, pasar tumpah tak tersentuh isu Covid-19, pun dengan
shalat Jumat. Sungguh bertolak belakang dengan kondisi di perumahan kakak saya
tempo hari. Boro-boro sibuk cuci tangan. Mengisolasi diri saja, mereka tidak
mampu. Bebal sekali memang !
Yang menjadi pertanyaan saya. Apakah
memang benar tidak semua lapisan masyarakat paham betul bahaya wabah di
kota-kota besar itu? Apalagi sewaktu-waktu bisa jadi menjangkiti mereka yang
bahkan hidup di pedesaan.
Saya tak habis pikir. Dan semakin
sedih ketika tidak bisa juga mengubah keadaan. Sebagai agen perubahan (baca :
Mahasiswa) seharusnya saya ikut andil dalam proses mengedukasi masyarakat di
sekitaran hidup saya ini, tetapi nyatanya, saya tetap tidak bisa bertindak
banyak karena semua itu tidak berada dalam genggaman kendali tangan saya.
Nah barulah, saya kemudian
merenungkan pengalaman saat saat mengisolasi diri di rumah kakak. Ternyata
itulah gunanya mengikuti perkembangan berita, mengakses berbagai situs anti
hoax dan kemudian berusaha patuh pada imbauan pemerintah, serta mulai rajin
menerapkan kiat terbebas virus. Secara langsung, kita menjadi peduli dengan hal
yang akan membahayakan kesehatan kita dimasa depan. Mencegah lebih baik
daripada mengobati akan jadi lebih mudah diterapkan.
Apa boleh buat, media sosial menjadi media saya untuk ikut
menyuarakan pencegahan semakin tersebarnya virus ini. Yah, barangkali tetangga
dan teman sekampung yang mengikuti akun saya sedikitnya bisa ikut teredukasi
dan membagikannya dengan netizen lain.
Sebenarnya. Upaya pemerintah dalam
menanggulangi penyebarluasan virus covid-19 ini sudah sangat maksimal, walau
belum canggih, namun para otak rakyat itu telah menciptakan kebijakan-kebijakan
mumpuni bagi rakyatnya.
Sayangnya, malah masyarakat sendiri
yang enggan mendukung aksi pemerintah. Disuruh diam di rumah saja, susah.
Mengupayakan untuk tidak shalat Jumat di masjid selama dua minggu, malah sibuk
mengomentari
“
Astagfirullah, manusia jaman sekarang lebih takut pada virus daripada sama
Allah. Miris.”
Atau
“
Mati dan hidup itu urusan Allah, kalau sudah waktunya mati, ya pasrah saja.”
Padahal, dalam
perjuangan memerangi pandemi global ini kita tidak cukup hanya dengan berdoa
dan menyerahkan segala garis hidup kepada Tuhan. Karena selama kita masih bebal
menanggalkan semua imbauan yang disarankan pemerintah. Coronavirus bakal tetap
heboh meloncat sana-sini menetapkan sasaran empuk selanjutnya.
Atau gini aja deh, jika masih keras kepala.
Mari jadikan kisah salah dua dokter yang meninggal setelah resmi berstatus positif
corona.
Yang pertama, ada kisah dari dokter
Hadio Ali, yang sebelum meninggal sempat pulang dulu untuk melihat kondisi buah
hati tercintanya. Rindu sudah jelas beliau rasakan. Tapi apa boleh buat, pagar
pembatas rumah menjadi halangan bagi mereka untuk saling berdekatan. Dokter
Hadio merasa lebih aman dan nyaman bila jauh-jauh dari anak dan istrinya, sebab
beliau takut menularkan penyakit pada orang-orang terkasih.
Yang kedua, ada Prof. DR. dr.
Bambang Sutrisna, MHSc. Juga beberapa hari lalu meninggal setelah dinyatakan
tertular covid-19. Yang membuat saya menangis membaca penurutan sanak
keluarganya adalah, pak dokter yang satu ini katanya jarang mengeluh bila sakit
fisik, bahkan ketika kakinya patah saja, beliau masih bisa menangani dengan
tenang. Namun ketika sesak napas mengungkung raganya, pak dokter mengeluh,
bilang kalau rasanya teramat sakit, katanya. Aduh, saya terisak saat membaca
dua kisah tersebut.
Lalu apakah dengan dua contoh nyata
diatas, kita masih tetap boleh egois berkeliaran tanpa peduli ada orang-orang
yang merelakan nyawanya demi tugas? Meninggalkan keluarga terkasih mereka demi
membantu sesama?
Terakhir, mari merenungkan semua hal
yang telah terjadi didunia ini. Mungkin ini sudah saatnya kita peduli pada
sesama dan alam semesta. Semoga korban hanya berakhir diangka 686 saja. Ayo
tetap di rumah, lakukan sosial distancing selama 14 hari ( tersisa beberapa
hari lagi) demi memutus rantai penyebaran.
#DirumahAja
Komentar
Posting Komentar