BUKU WIJI THUKUL TEKA- TEKI ORANG HILANG ; TERBUNGKAMNYA SUARA SI CADEL
Judul Buku : Wiji Thukul ; Teka – teki orang hilang
Penulis : (Seri
Laporan TEMPO prahara-prahara orde baru)
Ilustrasi :
Kendra H. Paramita
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Tahun terbit : Juni, 2013
Total Halaman :
160 Hal.
Kisah
tentang Wiji Thukul, adalah jilid perdana “seri praha-praha orde baru.” yang
diangkat dari liputan khusus majalah berita mingguan. Tempo, Mei 2013. Serial
ini menyelisik, menyingkap, merekontruksi, dan mengingat kembali berbagai
peristiwa gelap kemanusiaan pada masa orde Baru yang nyaris terlupakan.
Demikian
keterangan yang menegaskan bahwa buku yang baru saja gue baca, bukanlah fiksi
atau malah biografi. Buku ini merupakan kumpulan reportase investigasi yang
khusus tayang setiap minggunya. Mengupas tuntas bagaimana seorang aktivis pernah
hidup dan menggemparkan perpolitikan Indonesia.
Sebelum membaca kisah Wiji Thukul. Gue sudah pernah terlebih
dahulu dicekoki dengan kisah Biru Laut, sebuah karakter samaran karya Laila S.
Chudori. Kisah fiktif berdasarkan pengalaman nyata penulis saat terjadi
kerusuhan dan maraknya penculikan mahasiswa yang membela hak rakyat, alih-alih
patuh kepada pemerintah.
Dalam setiap perjalanan Laut, ditampilkan bagaimana sulitnya
menjadi masyarakat yang bebas pada masa itu. Baru buka mulut saja, oknum sewaan
penguasa langsung menyergap, membungkam dan memastikan tidak ada yang dapat
mendengarkan suara mereka. Dan novel ini menjadi pengantar kisah demonstrasi
fenomenal paling berkesan di hati gue. Novelnya terasa sangat nyata karena
memang berdasarkan pada fakta yang dicatut langsung dari para pelaku utama, tak
lain narasumber, penulisnya sendiri, dan beberapa tokoh yang berhasil selamat.
Meski begitu, pengalaman mereka semua sebisa mungkin disamarkan hingga membuat
pembaca akan berfikir ini adalah fiksi. Banyak hal yang bikin gue merinding
kala membaca kisah Laut. Novel yang menggambarkan kondisi di masa serba sulit
itu, bagamana para aktivisi yang sebagian adalah mahasiswa harus berlari
tunggang langgang, mengendap-endap di sisian sawah yang basah karena hujan,
juga meski selamat sekalipun, para korban nyatanya mendapatkan penyakit yang
menyerang psikis atas penyiksaan fisik yang menimbulkan trauma berkepanjangan.
Novel Laut Bercerita memberikan sensasi ngeri sekaligus mengharu biru khas
sastra bergaya syair implisit.
Setali tiga uang dengan kisah Laut, dalam versi nonfiksi, Tempo
menghadirkan kumpulan laporan Investigasi mengenai sosok Wiji Thukul. Pemuda yang
sama-sama merangkap sebagai aktivis, selain kesehariannya sebagai seniman dan
seorang tulang punggung keluarga.
Rentetan kisah perjalanan pemuda cadel itu dikupas tuntas oleh
para wartawan tempo sebagai ‘hadiah’ untuk para generasi diatas tahun
duaribuan. Yang tentu saja, mereka takkan pernah tahu bahwa pernah ada manusia
bernama Wiji Thukul hidup di bumi. Termasuk gue, yang pada saat peristiwa itu
terjadi, masih bayi.
Lewat kesaksian rekan sejawat dan keluarga besar yang pernah
hidup bersama sosok Pak Jikul, dengan begitu mewah mulai terjalinlah kisah sang
aktivis, dari mulai kisah heroik sampai pada bagian menyentuh tentang betapa
solidaritas antar aktivis terasa begitu kuat satu sama lain. Dalam buku ini,
sensasi yang serupa turut gue rasakan. Merinding begitu mendapati fakta bahwa
pak Jikul menjadi buronan dan sempat dihadiahi bogem para anggota Tim mawar.
Perasaan serupa dengan yang gue rasakan ketika membaca novel fiksi Laut
Bercerita, namun dalam versi catatan produk Jurnalistik yang sangat kaku dan
sarat sentilan politik di akhir.
Sama-sama mengangkat kisruh orde baru. Kedua buku diatas secara
nyata memberikan pengetahuan baru mengenai perpolitikan kacau Indonesia saat
itu. Pihak yang seharusnya membela rakyat, malah menganiaya. Para bajingan yang
tunduk kepada penguasa itu, lantas menengadah pongah kepada para kerdil tak
berdaya.
Cileunyi, 08 Februari
2021.
Komentar
Posting Komentar