Aku Ingin Sehat Rohaniah
Sudah lama sekali aku hidup selayaknya anak
muda hidup jaman sekarang. Kukira hanya aku saja yang baru terlelap selepas
kumandang azan bergema. Melewatkan cahaya pertama matahari terbit. Hirupan
udara segar sebelum kendaraan lalu lalang menyambut. Juga momentum jemur
pakaian berjamaah bareng tetangga.
Ini
berlangsung sudah cukup lama. Sampai aku kemudian menyadari bahwa hidup begini,
terasa cukup menyiksa. Hasrat untuk hidup normal tumbuh lebat dan merambat
kemana-mana.
Aku
sejujurnya ingin hidup sehat. Terutama sehat rohani. Jiwa ini terasa sangat
labil, jujur. Terkadang begitu sejuk seolah tanpa beban. Tetapi tak jarang, aku
amat resah dengan hari esok yang masih misterius.
Bapak
tidak pernah protes dan menegur saat mendapati anak gadisnya bangun siang.
Melewatkan banyak hal yang sudah seharusnya cewek seusiaku kerjakan.
Terimakasih bapak. I love you atas perhatianmu.
Tetapi...
Aneh.
Semua ketidaknyamanan justru hadir dari persepsi tetangga terhadapku. Meski
hanya sekadar basa-basi, tetapi apakah mereka harus selalu bertanya dimana
keberadaanku? Oh, ya Tuhan. Aku sudah empat tahun tinggal di rumah ini lagi.
Mungkin karena jarang keluar rumah, ya ? Hihihiih
Aku
selalu merasa bahwa orang disekitarku seringkali beranggapan bahwa aku malas
dan jarang beresin rumah. Padahal, mereka tak paham sesulit apa aku berkutat di
rumah besar ini. Dengan segala kekecauan dan uji sabar di dalamnnya. Perlu
diketahui, aku melalui tekanan batin menghadapi semuanya. Jadwal beres rumahku memang enggak rajin, tapi itu udah jadi kewajiban. Dan tentu saja aku gakkan
selalu bisa kasih serta bukti bahwa aku sudah melakukannya, dong?
Well,
kata teh Ajeng. Kita emang enggak bisa mengendalikan perasaan orang lain
terhadap diri kita. Maka akulah yang akan berubah untuk memenuhi ekspektasi
mereka semua.
Pertama,
aku ingin tidur lebih awal. Jam sepuluh sudah hilang ingatan. Dan bangun untuk
solat subuh lebih awal. Bercengkerama dengan Allah. Curhat banyak tentang keresahan
di awal kehidupan itu.
Kedua,
aku ingin sarapan sembari menulis naskah novel atau sekadar artikel film
seperti biasa. Segelas kopi dan makanan ringan pengganti sarapan besar. Ini
tentu beriringan dengan waktunya cuci baju. Mengapa aku tidak langsung beberes
rumah saja? Oh, ayolah. Pagi hari yang sempurna untuk menuangkan ide sebelum
perasaan kesal dan rasa marah mengalahkan imajinasi yang masih segar? Please,
aku hanya bisa menulis di pagi hari. Aku merasa itu adalah goldentimeku sebagai
penulis tidak berbakat.
Lalu,
beres nyuci. Makan siang, nonton. Rebahan dikit. Isoma. Tidur. Bangun.
Skripsian. Makan. Ngemil dan nonton. Tiktok time. Tidur.
Itu
saja.
Aku
hanya ingin hidup begitu. Bersama perasaan tenang karena merasa selalu punya
Allah. Itu saja. Tetapi mengapa sangat sulit?!
Komentar
Posting Komentar