Suatu Hari Di Persimpangan Jalan





Semesta ini kejam. Terkadang dia membuai hanya untuk menjatuhkan. Aku yang awalnya sangat bangga dengan kehidupan akademisku, kini merasa amat gagal. Kutengoki cermin di hadapanku, perasaan jijik tetiba menyeruak. Ya Allah, apakah ini memang suratan takdirku? Mengapa sedemikian rumit?

Tiga tahun lalu, aku remaja hampir melakukan percobaan bunuh diri. Ah, sungguh menggelikan bila masa krusial tersebut. Kala itu, dunia terasa begitu gelap gulita. Aku tak punya harapan lagi setelah tahun kedua, masih tak diterima hanya untuk standar universitas seperti itu. Kecewa berat, bukan karena aku tak dapat menggapai ambisiku untuk mencapai cita-cita. Receh, begitu saja kok  stress. Tapi itu lho, aku sungguh tak tega melihat betapa kecewanya Ibuku yang sudah mengantar kemanapun. Aku malu sekali mengetahui fakta betapa payahnya diri ini.
Bukan payah. Lebih cenderung bodoh, sih.

Semasa sekolah, aku ngapain aja ya ngomong-ngomong? Kok bisa gitu, tiga kali ikut tes saringan, ketiga-tiganya mendapat hasil buruk. Singkat cerita, aku terpuruk. Mentalku kena. Aku sudah menyerah dan memutuskan untuk tidak kuliah saja.

Bahkan, sempat terbersit untuk minggat saja buat ikut mesantren di Tasikmalaya. Sayang, kehidupan survive ala-ala begitu adalah salah satu hal paling kubenci. Jadi, aku mengurung diri dikamar. Nangis, makan, nangis, makan. Iya dong, sesedih apapun kondisinya, manusia tetap butuh makan. Hehe

Tetapi, Ibuku memang titisan Malaikat. Begitu kiranya mengingat aku sangat bersyukur punya Ibu sepertinya. Suatu hari, beliau pulang dengan bulir-bulir peluh berjatuhan dari balik pelipisnya, wanita setengah renta itu terlihat kesulitan mengatur napasnya yang memang sudah pendek-pendek sejak beberapa tahun terakhir.

            “ Ini, Ibu nemu Universitas di Garut.”

Aku diam saja. Tidak berminat. Lantaran, jika menunjukan ketertarikan, aku pasti harus ikut tes tulis lagi, dan tentu saja takut gagal untuk kesekian kalinya.

            “ Yuk, besok kesana, kita daftar”

            Sorot matanya memancarkan sisa-sia harapan terakhir untuk anak bungsunya ini. Meski berbeda, tidak terlalu banyak uang, dan pintar. Jelas dapat kurasakan bahwa keinginan Ibu untuk menjadikanku sebagai Sarjana sangatlah kuat. Dalam hati aku menjerit. Kenapa Ibu harus melahirkan anak kurang ajar, tidak berguna, dan tidak membanggakan sepertiku?

Maka, dengan memboyong segenap puing semangat melanjutkan kuliah demi Ibuku. Hari itu, berangkatlah kami ke sebuah Kampus bernama Harvard. Konon merupakan salah satu Universitas terbaik di Garut. Ibuku mengurus semua keperluan, sampai mungkin panitia penerimaan merasa heran sebab mereka bingung siapakah yang akan kuliah disini, Aku atau Ibuku sih?

Salah satu kelebihan Universitas Swasta adalah, seberapa bodohpun dirimu. Kampus akan tetap meloloskan, akhirnya aku lulus dan berhasil kuliah. Walau, sepulang dari sana. Ibuku dimarahi Bapak, katanya kenapa kok berani memasukanku ke Universitas yang mahal seperti itu.

            Bapak benar, toh aku bukan Sukma Halilintar kan?

Tapi, diawal perkuliahan. Aku bersyukur sekali. Ibuku ternyata benar, kuliah itu bukan sekadar belajar. Tetapi juga bersosial dan berjuang memerangi ego dalam diri sendiri.

AKU MERASA HIDUP ! Seperti manusia pada umumnya. Tanpa dibully seperti ketika sekolah, dimana teman-temanku yang tidak lebih idiot itu merisak diriku sesuka hati.

Tapi, kenyataan semakin pilu. Berulang kali cuti, membuat progres kuliahku tertinggal sangat jauh dibanding teman-teman seangkatan. Sialan, uang memang menyulitkan keadaan.

Sekian kali vakum. Aku kembali disemester enam. Masih dengan segala kecerobohan dan kebodohan yang menjerumuskan pada kubangan kesengsaraan yang tak berujung.

Tadi siang. Aku mengisi data bakal perwalian. Dan apa gerangan yang kudapati, bangsat. Selama tiga tahun terakhir, aku rupanya belum melakukan apapun. Disaat teman-teman angkatanku sudah KKN, PPL, dan menyusun laporan-laporan akhir mereka. Data pribadiku menunjukan, baru 109 SKS yang telah kuambi. Sisanya, mengulang. Atau sama sekali belum mengambil.

Aku tersungkur. Fakta yang mengejutkan ternyata. Secara otomatis, sukma versi negatif kembali muncul. Menguasai sebagian dari diriku. Layaknya 24 kepribadian yang hidup dalam tokoh utama film SPLIT. Dia meraung, meminta keadilan Tuhan, sampai kapan Tuhan akan puas membuat hatinya hancur?
Menangis sepanjang perjalanan pulang. Dibalik helm  air mataku bercucuran. Sesak tiada tara. Karena, pernahkah kamu merasa sangat sedih tatkala mengetahui bahwa teman-temanmu akan segera lulus sementara kamu masih dalam posisi setara semester tiga. Belum melakukan apapun, catat itu !
            Aku baru mengisi rongga hati dengan Istigfar ketika hempasan angin mengibaskan helmku menjadi sedemikian berat. Didepanku ada truk sampah, bau sekali. Persis seperti diriku yang berlumuran penyesalan dan rasa putus asa ini. Bau.

            Aku tersadar. Ternyata sejak awal, aku memang tak pantas kuliah. Seseorang yang payah sepertiku, hanya membuang waktu dan uang untuk hal demikian. Tidak tahu diri.
AH ! atau barangkali, seharusnya aku tak pernah lahir.

            Kini aku dihadapkan pada persimpangan jalan menuju masa depanku. Antara melanjutkan hidup di kampus dengan segala sisa keberanian, percaya diri, dan mental. Atau menyerah disini saja.
            Jalan mana yang akan kutempuh?

Ohya, bagaimana jika aku mati saja ya? Rasanya sudah terlalu malu menghadap Ibuku. Menghadap Kakakku. Aku malu sekali. Aku tak mau menjadi beban lagi.

Sayang, aku tahu bahwa kematian bukan hal sederhana. Dia juga teramat menyakitkan katanya. Diriku mana berani melakukan hal bodoh seperti dahulu kala lagi. Sialan...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Film The Gangster, The Cop, The Devil (2019) ; Adaptasi Kisah Nyata Terbaik

Review Film METAMORPHOSIS (2019) ; Tipu Muslihat Lelembut Khas Korea

Review Film The Villagers (2019) ; Misteri Skandal Besar di Kota Kecil