Eksistensi Diusia Senja









H. Usep Romli lahir,  16 April 1947 limbangan, Garut.  Merupakan seorang sastrawan sunda yang mengawali karier nya sebagai pengajar salah satu Sekolah dasar di kadungora Garut. Namun, usai delapan belas tahun mengabdi sebagai  Pegawai Negeri Sipil. Akhirnya beliau memutuskan untuk berhenti, dengan alasan ingin lebih serius berkarier di bidang kewartawanan.
Pada awal meniti karier, saat itu belum ada media apapun di Garut.  H. Usep mulai membentangkan passionnya di Bandung, dengan menjadi koresponden Koran Bandung yang saat itu hanya memiliki kurang dari sepuluh wartawan yang bekerja sebagai karyawannya. Hingga beberapa tahun  kemudian menjadi karyawan tetap di Pikiran rakyat dan Kompas.
Namun kecintaan H. Usep pada dunia sastra dan Jurnalistik sudah di buktikan jauh sebelum beliau mulai menekuni pekerjaan sebagai Wartawan. Semasa sekolah menengah atas, beliau sudah rutin mengirimkan tulisan-tulisannya yang kemudian di muat oleh Harian benteng dan Harian Karya.
Saat itu H. Usep mengaku bangga atas pencapaian yang sudah di raih pada usia belia. Saat teman-teman yang lain bahkan masih sibuk mengisi hari dengan bermain.  H. Usep sudah menulis berbagai judul yang sukses menembus media-media ternama pada masa itu.
“Nama saya tercantum di surat kabar. Kemudian saya gunting dan  tempel di salah satu ruangan rumah saya agar terekspos.” Ungkap H. Usep sembari mengenang moment yang membanggakan tersebut. 
Terlahir dari keluarga yang berlatar belakang pendidikan. Tidak lantas membuat H. Usep mengikuti jejak garis keturunannya yang sebagian besar berprofesi sebagai Guru sampai akhir masa pensiun. H. Usep sadar bahwa dengan mengikuti isi hatinya, janji tentang masa depan yang lebih baik akan segera datang menghampirinya.
Benar saja, karena sejak memutuskan menulis hingga di kenal sebagai seorang sastrawan sunda sekaligus wartawan senior. H. Usep senang ketika di tugaskan meliput peristiwa ke berbagai tempat seperti Israel, Afrika, Eropa,  Asia, dan pulau-pulau di Indonesia yang merupakan cita-cita sejak kecil. Bahkan yang lebih menyenangkan lagi, H. Usep sempat di beri penghargaan sebagai wartawan indonesia pertama yang berhasil melakukan peliputan di somalia.
Maka dengan senang hati H. Usep mengungkapkan bahwa banyak keajaiban yang di dapatkan hanya dari seuntai kalimat yang di tulisnya. Meskipun masih ada beberapa tempat seperti Amerika yang belum bisa di kunjungi lantaran saat itu sedang hangat isu terorisme hingga turut menghambat tugasnya,atau negara-negara di tanah lingkaran kutub utara yang mungkin masih belum di takdirkan masuk dalam daftar tempat meliputnya.
 Selama 25 tahun menggeluti dunia Jurnalis, ada banyak hal yang berhasil di kantongi oleh H. Usep Romli. Pengalaman menyenangkan yang membuatnya tak pernah menyesal karena telah menanggalkan seragam PNS.

Wartawan Lintas Dekade

Sebagai wartawan yang sudah menghabiskan lebih dari dua puluh tahun menulis berita, lini masa yang memuat pengalaman bekerja H. Usep akhirnya terungkap, dari mulai pergantian kepemimpinan hingga perubahan jaman yang kini menjelma menjadi kian modern.
H. Usep kemudian menceritakan pengalamannya bekerja sebagai wartawan di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Menurut penuturannya,  pada masa itu pers tidak sebebas pers sekarang ini. Jadi, setiap topik bersifat politis yang akan di angkat menjadi berita. Harus menunggu terlebih dahulu, sebelum mendapat  keputusan dari pemerintah Propinsi atau Kabupaten. Karena jika tidak begitu, sudah dapat di pastikan nama wartawan yang memuat akan langsung di introgasi oleh pihak berwenang.
Beruntung, H. Usep tak pernah masuk dalam daftar wartawan yang di panggil karena masalah pemberitaan dengan tema mengulas atau memberitakan pemerintahan. Hanya teman-temannya saja yang sempat bermasalah, itupun hanya karena masalah sepele seperti salah pada penulisan nama atau lembaga.
Tapi pernah, suatu hari. Ketika di tugaskan membuat berita tentang demontrasi mahasiswa anti Presiden  Soeharto, media tempat H. Usep bernaung sempat  di breder. Meskipun tak lama kemudian langsung di bebaskan, dengan surat pernyataaan tidak akan memuat hal-hal negatif lagi.
“Kadang petugas mencurigai saya, karena di sinyalir akan memberitakan kecacatan dalam pemerintahan Soeharto di suatu daerah.” Kata H. Usep sembari terkekeh.
Tak lupa, H. Usep juga turut mengisahkan proses kegiatan kejurnalistikan yang belum mudah seperti sekarang. Contohnya sekitar lima tahun masa bekerja,  saat beliau sedang melakukan peliputan di luar negeri. Banyak hal yang musti di lakoni agar menghasilkan berita yang siap di sebarkan kepada masyarakat, H. Usep mengenang sulitnya proses ketika harus menulis berita hanya dengan menggunakan mesin Ketik.
Tak sampai di situ, H. Usep masih harus mengirimkan naskah berita lewat mesin faksimile, belum lagi jika harus menyertakan foto dalam naskahnya. Maka H. Usep akan   bergegas meninggalkan hotel untuk mencari kantor pos guna mengirimkan lembaran-lembaran foto tersebut.
Menyinggung hal itu, H. Usep kemudian membandingkan proses kerja wartawan sebelum mengenal semua kemudahan teknologi seperti masa kini. H. Usep mengungkapkan bahwa wartawan jaman sekarang cenderung memiliki banyak kemudahan dalam proses mencari berita, bahkan dari sebuah hal yang viral di media social pun mereka sudah bisa menulis  satu judul berita untuk kemudian di muat di media massa.
Kecanggihan teknologi pun nyatanya semakin membantu pekerjaan wartawan, karena sekarang naskah berita bisa di kirim melalui e-mail sekaligus dengan potongan foto untuk menguatkan isi berita.
Namun, H. Usep sedikit menyayangkan kualitas berita yang tak sebanding dengan kemudahan yang di dapatkan oleh wartawan masa kini. Cukup banyak wartawan yang tidak mempertimbangkan kualitas tulisan yang di publikasikan.
              Saya kalau baca artikel, berita yang di muat itu kebanyakan jelek-jelek. Pertama berulang-ulang, kedua kalimatnya masih acak-acakan, hal itu di duga mungkin karena adanya ketidak selarasan komunikasi antara jurnalis dan editornya. Bahkan di  media social, atau blog pribadi saya sering menemukan berita di muat tanpa melakukan editing dan penilaian isi.” Keluh H. Usep.
            Dengan beredarnya berita atau informasi  yang di tulis secara tidak sempurna di media social tersebut, di khawatirkan akan berakibat pada maraknya berita bohong atau yang sering di sebut berita hoax.  Berita hoax biasanya di tulis oleh seseorang yang tak punya latar belakang jurnalistik, atau oleh oknum-oknum yang sengaja di sewa dengan tujuan menyebarkan kebohongan, radikalisme, dan ujaran kebencian.
            Mengomentari fenomena hoax itu sendiri, H. Usep menjelaskan bahwa hal tersebut tidak dapat di basmi meski secara perlahan sekalipun. Itu sudah menjadi semacam virus yang tak di temukan obatnya. Satu-satunya cara ampuh menghadapi fenomena hoax tersebut adalah kita harus pandai dan bijak dalam memilah mana berita yang asli, dan mana yang palsu. Minimal seharusnya kita membaca sebuah artikel dari media cetak atau online yang sudah terpercaya.
            Berita hoax tersebut biasanya di tulis oleh pihak yang mengaku sebagai insan jurnalistik. Namun pada kenyataannya mereka sama sekali tidak paham hal-hal dasar dalam penulisan dan pelaporan berita.
Selain hal di atas, banyaknya tindak pemerasan oleh wartawan kepada instansi pendidikan atau yang biasa di sebut wartawan amplop juga seringkali menciderai citra dan idealisme seorang wartawan.
            Karena itulah H. Usep merasa kasihan terhadap oknum wartawan amplop tersebut. Karena baginya, wartawan asli itu hanya menjual jasa kepada media massa. Media ideal yang menggaji karyawannya berdasarkan kinerja dia mencari berita.



“Pahlawan” budaya sunda

Budaya sunda, dewasa ini sudah banyak di tinggalkan oleh masyarakat Jawa barat. Banyak orang salah persepsi tentang “membudayakan” kesenian sunda. Kebanyakan dari mereka akan menganggap bahwa sebuah acara mengenalkan budaya sunda sebagai salah satu kegiatan membudayakan. Padahal pendapat H. Usep, membudayakan itu tidak cukup hanya lewat acara khusus atau wacana Rabu nyunda semata.
 Banyak faktor yang menjadi penyebab meredupnya kebudayaan sunda. Cukup sederhana, masyarakat hanya jarang melakukan hal berbau sunda yang justru harus di lakukan sebagai sebuah kebiasaan sehari-hari.
Fakta menyatakan bahwa sekarang, orang sunda itu lebih sering menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-harinya. Bahkan tak jarang remaja sekarang mulai bangga dengan kebiasaan mereka yang lebih sering menggunakan bahasa asing seperti Inggris.
 Disisi lain, pemakaian istilah bahasa asing juga tidak sesuai dengan proses membudayakan itu sendiri. H. Usep pernah suatu hari melayangkan protes kepada dinas pariwisata tentang hal-hal yang tidak nyunda. Yakni ketika mereka mencantumkan kalimat “Garut amazing” sebagai jargon. Hal itu lantas membuat H. Usep mengerutkan kening. Apa susahnya memakai bahasa sunda sebagai jargon?
Selain itu, banyak perumahan yang menyematkan kata Regency di sela namanya. Padahal, kata padumukan di rasa lebih cocok dan memberi nuansa yang kental akan budaya sunda. Hal selanjutnya yang tak luput dari pengamatan H. Usep adalah prihal penamaan objek wisata. Ada salah satu objek wisata alam yang baru terekspos dan di beri nama Karacak Valley.
Tentu saja itu sangat tidak cocok. Kenapa harus menggunakan nama tersebut, toh orang yang datang kesana pun bukan turis asing. Dan seandainya turis asingpun, menggunakan kata curug, di rasa lebih pas untuk mengenalkan kosa kata sunda kepada mereka. Yang terakhir, ironis sekali ketika kebanyakan dari masyarakat kita sangat jarang membaca karya sunda. Baik karya sastra, koran, atau majalah.
 Maka hal tersebut  sudah sepatutnya menjadi tanggung jawab, tidak hanya untuk H. Usep selaku penggiat sastra sunda. Melainkan juga untuk kita semua sebagai keturunan langsung suku sunda.
Bagi orang tua, mengajarkan anak berbicara bahasa sunda sekaligus mengenalkan makanan, mainan, dan istilah-istilah sunda juga sudah menjadi sebuah keharusan. Karena selain nantinya anak mengetahui banyak hal tentang dunia, anak tak lantas  melepaskan alam pikirannya dari budaya sunda


Karya dan prestasi
            Begitu kami mengajukan pertanyaan yang merujuk pada hobi menulisnya. H. Usep menyatakan bahwa dirinya lebih tertarik dan merasa nyaman ketika menulis dalam bahasa Sunda. Karena baginya, mood yang beliau dapat selalu lebih banyak di banding saat sedang menulis menggunakan bahasa Indonesia.
            H. usep mengungkapkan bahwa kemampuan bersastranya lebih berkualitas saat dirinya menggunakan bahasa Sunda. Mungkin, karena itu semua sudah menjadi hobi yang menyenangkan.  Berikut beberapa karya yang sudah terbit, baik dalam bahasa sunda maupun bahasa indonesia.

Buku Anak-anak
·         Pahlawan-pahlawan Hutan Jati (1974)
·         Nyi Kalimar Bulan (1982)
·         Oray Bedul Macok Mang Konod (1983)
·         Bongbolongan Nasrudin (1983)
·         Aki Dipa (1983)
·         Pertaruhan Domba dan Kelinci (1984)
·         Dongeng-dongeng Araheng (1993
·         Si Ujang Anak Peladang (1973)

Kumpulan Sajak
·         Nu Lunta Jauh (1992)
·         Sebelas Tahun (1979)


Kumpulan Cerita Pendek


·         Nganteurkeun (1986)
·         Jiad Ajengan (1991)
·         Sanggeus Umur Tunggang Gunung (2009)
·         Sapeuting di Cipawening (2010)
·         Ceurik Santri (1985)

Novel

·         Bentang Pasantren (1983)

BUKU NON FIKSI
·         "Percikan Hikmah" anekdote Sufistik (1999)
·         "Zionis Israel di Balik Serangan AS ke Irak" (2003)

Penghargaan
·         Hadiah Sastra LBSS (Lembaga Basa jeung Sastra Sunda) 1995, untuk puisi.
·         Hadiah Sastra LBSS 2001, untuk essey
·         Hadiah Sastra LBSS, 2004, untuk essey
·         Hadiah Sastra LBSS, 2007, untuk cerpen
·         [Hadiah Sastra Rancage]] (2010) untuk Sanggeus Umur Tunggang Gunung
·         Hadiah Sastra Rancage (2011) untuk jasanya kepada dunia sastra Sunda
·         Garut award 2010 . Piagam dan medali dari pemerintah kabupaten Garut, sebagai penghargaan atas aktivitas seni-budaya yang mengharumkan nama Garut.
·         Anugerah Budaya Pemprov.Jabar kategori Seni Sastra (2012)
·         Penghargaan dari Pikiran Rakyat, sebagai wartawan senior yang mengabdi selama 25 tahun
·         Hadiah Sastra Mangle (1977)


Sayangnya, bakat menulis H. Usep sama sekali tidak menurun kepada anak-anaknya. Putera dan puteri beliau sepertinya lebih tertarik menjadi Guru, ahli di bidang perhutanan, dan perikanan.  Adapun salah satu yang menyukai travelling, dia tidak berminat menuangkan petualangan menjelajahnya  ke dalam bentuk tulisan.



Satu, dua patah kata

            Sebagai wartawan dengan segudang pengalaman. Akhirnya H. Usep memberikan tips menjadi calon wartawan, kepada penulis selaku calon wartawan selanjutnya.
            Pertama, berpegang teguh pada fakta dan data. Seorang wartawan tak boleh memasukan opini pribadi ke dalam berita yang akan di muat. Maka seorang calon wartawan haruslah berlatih dari sekarang melatih membedakan fakta dan opini.
            Kedua, seorang wartawan harus pandai mengungkapkan apa yang terlihat dan terdengar dalam bentuk tulisan yang nyaman di baca dan dapat di pahami dengan mudah. Maka seorang calon wartawan hendaklah berlatih mengasah keterampilan menulis.
            Ketiga, seorang wartawan harus banyak membaca. Membaca apapun yang sekiranya dapat menambah wawasan. Membaca juga secara tak langsung dapat menambah kosa kata.
            Keempat, Walaupun seorang wartawan punya banyak pengetahuan, tapi sebaiknya tidak sok tahu .  Alangkah bijaknya jika lebih banyak mendengarkan dari pada berbicara. 
            Yang terakhir, yakini dalam hati bahwa seorang wartawan itu akan miskin harta. Namun kaya dengan wawasan dan pengalaman.
            Begitu satu dua patah kata yang di berikan H. Usep kepada kami selaku calon jurnalis di masa yang akan datang.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Film The Gangster, The Cop, The Devil (2019) ; Adaptasi Kisah Nyata Terbaik

Review Film METAMORPHOSIS (2019) ; Tipu Muslihat Lelembut Khas Korea

Review Film The Villagers (2019) ; Misteri Skandal Besar di Kota Kecil