Melihat Orang Lain Mati, Sementara Aku Masih Hidup
Semesta
tidak pernah secara ramah membuka tabir misterius kehidupan yang manusia
jalani. Terkadang, kalau tidak peka. Kita hanya akan terombang-ambing
mengenaskan mencari pemaknaan dibalik segala sesuatu yang menimpa diri ini.
Kenapa kita hari ini kita sial
sekali?
Kenapa Tuhan selalu bersikap tidak adil pada
kita?
Atau, kenapa hidup orang lain
terlihat lebih manis dibanding hidup Kita?
Kelebatan pertanyaan itu,
setidaknya pernah terbersit dalam benak seorang manusia. Dan sebagai manusia
yang dimaksud, aku malu meratapi ketiga pertanyaan yang tanpa jawaban itu.
Maksudku, saking klasiknya jawaban tersebut. Ingin kuanggap saja mereka bertiga
tak punya jawaban.
Akhir-akhir ini. Aku cukup
kelimpungan menghadapi perlawanan dari sisi gelap dalam diriku. Ketika yang
baik sedang menguatkan diri untuk tidak bersedih sebab teman-teman mulai
menggarap skripsi, sisi yang lain malah meng-ambyarkan semua keteguhan dan
keyakinan positif itu.
Dalam sekejap, aku tersedu-sedu
melihat teman seangkatanku pamer surat bimbingan, di acc dospem, dan mulai
mencari banyak referensi tulisan ilmiahnya tersebut.
Padahal...
Harusnya aku bersyukur karena
belum dipertemukan dengan kegiatan super memusingkan tersebut. Bahkan harusnya
merekalah yang seharusnya iri padaku sebab masih bisa bersantai, kuliah, dan hanya
mengerjakan tugas khas anak semester baru saja.
Tapi...
Ada sebuah bisikan, serta
dorongan yang membuatku tak dapat menerima kenyataan. Aku ini sudah tua,
sementara teman SMA-ku berhasil lulus, aku masih duduk dibangku kelas sambil
beristigfar menanti tiga SKS-ku selesai. Sementara yang lain sudah kerja, aku
masih betah menunggui jadwal KKN dan Jobtraining yang entah kapan itu.
Berulang kali aku mencurahkan
keresahanku ini pada kakak. Dan kudapati secercah harapan dari setiap sarannya.
Benar juga, setiap orang punya waktunya sendiri. Bahkan seorang Youtuber
berkonten positif dan inspiratif sekelas Kak Gita Savitri saja menyelesaikan
masa S1-nya selama 7 tahun. Bahkan, seorang komika cerdas sekelas Gilang
Baskoro –GILBAS- tak pernah menyelesaikan masa S1-nya dan tetap nampak
berpendidikan. Bahkan, dan bahkan lainnya.
Dilain kesempatan, Abangku juga
berpendapat demikian. Katanya, mungkin yang lulus cepat-cepat itu sebenarnya
tidak lulus tepat pada waktunya. Boleh jadi akulah yang nanti lulus pada
waktunya tersebut.
Maka esok harinya. Aku kuliah
seperti biasa. Riang gembira seakan beban dan segala rasa takutku menguap
begitu saja. Aku bersikap dewasa dengan terus menyemangati rekan angkatan dan
sahabat-sahabatku, menghibur mereka yang tertekan dengan jajanan dan lelucon
payah khasku.
Sampai kemudian...
Rasanya seperti tersedak cilok
bulat-bulat. Dalam kelas, seorang dosen yang mulanya kusukai. Tanpa tahu menahu
menjadikan temanku sebagai contoh materinya. Ditanyailah mereka tentang
bagaimana rasanya sidang JT, yang awalnya kuanggap sebagai kisah seru. Namun
semakin lama, terasa kian menjatuhkan mental.
Aku merasa...
Tidak dikenali sebagai Mahasiswa
Semester Tujuh. Semua Dosen pengampu tak pernah yakin kalau aku sama dengan
mereka, aku semester Tujuh. Kenapa mereka tak pernah menyadari itu?
Apa mungkin karena tak pernah
melihatku ikut serta dalam kegiatan semester Tujuh. Mungkin !
Oh, Dear God...
Seburuk ini ya ternyata rasanya.
Maksudku, mungkin ini juga terlalu berlebihan. Namun percayalah, tidak berjuang
bersama sahabat seangkatan dalam menggarap skripsi itu rasanya hampa, kosong,
dan tertinggal.
Aku merasa seperti sedang
melihat satu persatu sahabat karib, keluarga,
dan sanak keluargaku mati. Sementara aku yang panjang umur ini masih
hidup dan betah menyaksikan kepergian mereka. Merasa ditinggalkan... Sendirian.
Komentar
Posting Komentar