Review Film GOODBOYS (2019) ; Tentang Kepolosan Anak Kecil dan Komedi Berfaedah Mengocok Perut






Sutradara : Gen Stupnitsky

Penulis Naskah : Lee Eisenberg & Gene Stupintsky

Pemeran :

Jacob Tremblay Sebagai Max
Keith L. Williams Sebagai Lucas
Brady Noon Sebagai Thor
Molly Gordon Sebagai Lilly
Midori Sebagai Liliy

Distributor :  UNIVERSAL PICTURES

Durasi : 89 menit

Tentang :

                Suatu hari, Max yang diperankan oleh aktor besar cilik Jacob Tramblay diajak oleh ketua geng ternama sekolah untuk ikut berpesta. Disanakan mereka akan mengadakan berbagai kegiatan khas pesta anak remaja.

                Max suka seorang anak cewek di kelasnya. Dan ketika itu terjadi, maka Max ingin pesta malam nanti dia jadikan momentum istimewa untuk mendapat ciuman pertamanya.

                Namun, Max yang hendak belajar bagaimana cara mencium perempuan dan  dibantu oleh kedua sahabatnya yakni Lucas dan Thor malah mendapatkan masalah yang harus mereka selesaikan bila ingin pergi ke pesta.

                Apakah mereka bisa pergi ke pesta tanpa hambatan , atau malah terjebak di kamar oleh orang tua sebagai hukuman atas kesalahan yang mereka perbuat?

Review :

                Awal kemunculannya, film ini digembar-gemborkan sebagai film komedi terbaik tahun ini. Bukan tanpa alasan ternyata, memang begitulah nyatanya. GOOD BOYS merupakan tipikal komedi yang tidak berusaha menunjukan kekomediannya secara gamblang. Kita sebagai penonton hanya mampu tertawa sebab tanpa sadar semata.

                Bagi gue pribadi, ini adalah pengalaman menonton yang menyenangkan. Karena baru kali ini gue mendapatkan kesempatan menyaksikan film bergenre komedi yang berasal dari karakter anak kecil.

                Apa yang membuat gue menyukai film ini?

                Pernah tidak sih, menemukan karakter anak kecil yang ditampilkan sebagaimana mestinya? Misal, si anak tersebut dikasih dialog yang terlalu representatif, kita disuruh mikir lagi apa maksud tentang semua kalimat yang terlontar darinya, atau barangkali karakter si anak kecil itu justru ditampilkan terlalu kuat layaknya orang dewasa yang terjebak di tubuh seorang anak kecil.

                Oke, katakanlah mungkin latar belakang anak tersebut adalah korban tindak kekerasan yang mau gak mau membuatnya dewasa sebelum waktunya. Tapi kan, rasanya agak aneh kalau pada akhirnya penulis membuat karakter anak kecil itu tidak sebagaimana mestinya. Karena yang seharusnya terjadi adalah, kita akan merasa lebih iba jika si anak kecil ditampilkan sebagai karakter anak kecil yang utuh, yang tidak tahu kalau itu adalah tindak kekerasan, yang punya rasa takut sewajarnya anak kecil takut dipukul saat terkena hukuman, yang lebih banyak diam saat orang-orang mulai percaya bahwa dirinya merupakan korban kekerasan alih-alih berdialog tentang kerasnya hidup dan pembelaan-pembelaannya terhadap orang tua. “ Mungkin orang tuanya capek bekerja, jadi dia membiarkan mereka memukulinya, dsb”

                Nah, dalam film ini. Tiga karakter anak kecil benar-benar dipresentasikan sebagaimana anak kecil pada umumnya. Mereka polos, sepolos-polosnya anak kecil. Dan yang bikin kita ketawa adalah bagaimana ketiga anak kecil ini menjalani proses mencari jati diri mereka yang sesungguhnya. Kepolosan mereka mengantarkan pada hasil film yang sesuai dengan keadaan zaman sekarang. Anak kecil tumbuh dewasa sebelum waktunya. Dan ketika karakter itu mewakilinya.

                Lucu banget pas liatin adegan Max lagi kasmaran sama gebetannya. You know? Anak kecil yang lagi jatuh cinta tuh emang kayak gitu? Visual efeknya dibikin sejenaka mungkin, karena pada dasarnya itu Cuma cinta monyet doang kan? Hahha

                Atau pas Thor selalu pura-pura jadi dewasa dengan menantang musuhnya lebih banyak minum beer, itu sebenernya menjelaskan bahwa anak-anak selalu ingin terlihat sempurna dihadapan yang lain, hanya sebatas untuk mendapatkan pujian semata. Dia kadang lupa, bahwa takan mendapatkan apapun dirinya saat melakukan semua itu. Yaudah gue Cuma mau buktiin doang. Sebatas itu aja, kan ?

                Tentu jangan lupa sama karakter Lucas yang demi apa dia emang dewa komedinya disini. Lucas adalah karakter yang digambarkan emang paling kekanakan diantara dua sahabatnya yang lain,  tapi sebenernya kronik hidup dia lebih gede daripada Max dan Thor.

                Perceraian orang tuanya membawa Lucas pada fakta bahwa kini dia harus menonton serial televisi kesukaannya bersama kedua orang tuanya, namun di waktu yang berlainan. Takan pernah lagi dirinya duduk se-sofa bertiga, takan lagi dirinya duduk melingkar sambil menyantap sarapan ibunya.

                Gue tahu persis bagaimana perasaan Lucas yang kemudian pura-pura kalau dirinya baik-baik saja menghadapi perceraian kedua orang tuanya. Itu alami banget sih, karena pada akhirnya Lucas tetap saja nangis. Anak kecil tetep aja anak kecil yang nyuruh kedua orang tuanya balikan seolah itu adalah hal yang mudah.

                Selain karakterisasi, kemasan alur dalam film ini sebenernya juga mengandung banyak faedah. Penyelesaian-penyelesaian yang digambarkan sederhana namun penuh makna. Gue suka semua itu. OST-nya juga enak, walaupun sinematografinya sama sekali tidak spesial.

                4, 5 / 5 Bintang

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Film The Gangster, The Cop, The Devil (2019) ; Adaptasi Kisah Nyata Terbaik

Review Film METAMORPHOSIS (2019) ; Tipu Muslihat Lelembut Khas Korea

Review Film The Villagers (2019) ; Misteri Skandal Besar di Kota Kecil