Cobaan Berlebaran Yang Sesungguhnya
Foto bisa saja memiliki hak cipta |
“ Eh, sudah beli
baju belum?”
“ Hari ini bikin kue kering apa ya?”
“ Ih, calon suami kamu nanti kesini gak?”
“ Kapan nikah? “
Kiranya, semua pertanyaan itu akan lekat
menjadi perbincangan banyak orang minimal dua hari menjelang lebaran. Entah
kebudayaan dari mana, semua hal itu kini seolah menjadi tradisi turun temurun
yang bila tidak diamalkan, maka namanya bukan lebaran.
Orang kota berbondong-bondong pulang
kampung. Yang kaya, pamer kesuksesan, sementara yang nganu, cukup pulang membawa cucu saja sudah bikin bahagia Kakek Nenek.
Tetapi apa daya. Indonesia tengah
dirundung duka. Sebuah virus meleburkan segala asa dan harapan untuk bertemu
sanak saudara di kampung. Alhasil, untuk pertama kalinya dalam sejarah Hari
Raya Idul Fitri. Ada yang namanya Silaturahmi Virtual. Kini, ongkos mudik
beralih jadi untuk modal beli kuota.
Beberapa diantaranya, ada yang ngeluh,
bilang kalau pengalaman tersebut cukup menguras emosi. Bagaimana tidak? Bertemu
dalam rangka momentum lebaran itu hukumnya wajib, kalau tidak dilaksanakan,
berasa ada yang kurang aja gitukan.
Belum sampai disana, selain tak dapat
pulang kampung dan ngumpul-ngumpul. Kita juga masih harus berpuas diri dengan
larangan berkumpul dan bepergian keluar rumah.
Itu buat mereka yang masih peduli dan
tetap konsisten menjaga kebiasaan mematuhi imbauan pemerintah loh ya. Yah, buat
yang mulai bebal mah, terserah saja, mungkin merasa sudah siap dengan segala
risiko yang akan menerjang dikemudian hari.
Ah, pokoknya sedih deh.
Tetapi. Apakah kalian sadar? Diluaran
sana, banyak sekali orang yang telah lama merasakan hal tersebut. Entah itu
mereka yang merantau terlalu jauh, belasan tahun tinggal di Jakarta, sedangkan
kampung halamannya ada di Bangka Belitung. Ongkos pesawat mahal kalau harus
bolak-balik. Setiap tahun, mereka silaturahim virtual.
Itu lebih baik. Setidaknya mereka masih
dapat bertatap muka. Bayangkan mereka yang telah ditinggal keluarga inti
terkasihnya? Hanya bisa merindu. Sebatas mengirimkan doa. Sebatas mengenang.
Menangispun tak ada gunanya lagi.
Yang terkasih, takan kembali.
Komentar
Posting Komentar