Ngomongin Buku Seperti Roda Berputar-nya Cak Rusdi
Cak Rusdi sudah Berpulang lebih dari dua tahun yang lalu.
Namun, karya-karyanya masih dinikmati banyak orang sampai sampai saat
ini. Baik versi digital yang pernah tayang di platform Mojok.co maupun versi
buku cetak-nya.
Aku sendiri, menemukan dua buku tulisan beliau sebagai buku
yang paling banyak direkomendasikan oleh Insan Jurnalistik. Mereka mengulas
bahwa dua judul tersebut setidaknya mampu menjadi gambaran perihal bagaimana
seorang Wartawan pemula, harus memahami dan menjalankan misi sebagai Pahlawan
Informasi yang berpegang teguh pada kebenaran dan kode etik profesi (Nanti akan
aku ulas di postingan selanjutnya)
Diantara dua buku yang aku beli dari hasil minta ke abang.
Buku ini hadir sebagai bonus. Dan menjadi yang paling tipis dibanding dua buku
lainnya. Tetapi tak kusangka malah menjadi yang paling berkesan.
Seperti Roda Berputar
Adalah catatan pribadi cak Rusdi selama bertarung melawan
kanker yang menyerang tubuhnya. Beliau mengisahkan bagaimana awalnya bisa
terkena kanker, proses pengobatan, dan beberapa sentuhan humanitas antar
dirinya, keluarga, dan sahabat selama menjadi pasien Rumah Sakit. Terakhir, tentu saja tentang hubungan spiritualnya
dengan Allah.
Semua perasaan beliau tergambar jelas dalam buku ini. Cak
Rusdi berhasil menyajikan bagaimana sengsaranya jadi orang sakit, bukan hanya
perkara rasa sakit yang menyerang fisiknya itu sendiri. Melainkan juga ironi
atas pergolakan bathin yang juga turut beliau rasakan.
Balada Pasien BPJS
Sebagai orang yang pernah menyaksikan orang tersayang
berjuang hingga akhir ajal menjelang, aku tahu persis bagaimana susahnya
mendapatkan pengobatan di Rumah sakit besar. Apalagi dengan BPJS. Pernah suatu
hari, saat Almarhumah mamah mengeluh sakit dan ingin berobat ke rumah sakit
menggunakan kartu berwarna hijau mentereng tersebut, aku ikut mengantar, karena
mamah sudah agak susah berjalan pada saat itu.
Ya Allah. Apa yang dituturkan Cak Rusdi dalam buku ini
langsung tergambar jelas di benakku. Sebab aku paham rasa kesalnya bagaimana.
Menunggu berjam-jam di ruang tunggu dengan kursi besi yang dingin dan keras.
Nama demi nama terus disebut, menjadi nomor urut ke sekian adalah hal paling
menjengkelkan kala itu. Aku masih ingat, butuh tiga jam untuk menunggu nama
Mamahku dipanggil hanya untuk pemeriksaan berdurasi tidak kurang dari tujuh
menit saja. Belum lagi, kami harus menunggu resep obat gratis di ruang sebelah.
Tambah tiga jam lagi. Jadi total durasi yang dibutuhkan untuk pemegang kartu
tersebut, paling sedikitnya adalah enam jam untuk bisa kembali ke rumah. Tak
apalah, setidaknya gratis.
Dokter, kok gitu sih
?!
Lalu ada bagian dimana Almarhum Cak Rusdi berseteru dengan
salah satu dokter yang merawatnya. Beliau kesal karena penjelasan dan etiket
dokter tersebut agak ngasal meski dia adalah orang berpendidikan. Terlebih,
dokter itu jauh lebih muda dari pada Cak Rusdi. Nah, aku langsung ingat banget.
Dulu, dokter yang merawat mamah juga judes minta ampun. Kesannya dia tuh kayak
yang males gitu ngerawat mamahku. Padahal, abang iparku bayar biaya rumah sakit
enggak nyicil, sekali beli obat juga berapa ratus ribu coba? Dalam hatiku,
kenapa sih ini dokter kayak yang enggak ikhlas ngobatin pasien teh?
Kesel bangetlah bangsat . Ah, pokoknya aku merasa paham betul perasaan cak
Rusdi pada bab ini.
Kupikir, dokter memang merupakan makhluk paling pintar
setelah lulus kuliah, tetapi mereka tak lebih pintar dari seorang anak kecil
jika berhadapan langsung dengan masyarakat atau lingkungan tempat manusia
bersosial. Mau di rumah sakit manapun, dokter spesialis apapun, semuanya begitu
pikirku mah, irit ngomong, irit senyum, beberapa ada yang kadar judesnya
tinggi banget. Bikin badmood lah pokoknya. Tetapi, mau gimanapun, mereka
adalah perantara dari Allah untuk menyembuhkan mamahku. Mereka tetap berjasa.
Mungkin semua hal yang pernah pasien rasakan perihal sikap dan sifat dokter di
rumah sakit, hanya segelintir kesalahpahaman tentang kode etik profesi. Atau,
apalah. Mari berperasangka baik saja.
ICU Laknat
Mamahku juga masuk ICU agak lama. Bahkan mungkin
menjadi yang paling senior diantara pasien lain yang juga terpaksa harus
menetap di sana. Seperti cak Rusdi pada bab Bye-bey, ICU, Bye... Mamah juga
boleh jadi merasakan hal yang sama. Rasa takut menerjang ditengah sensasi sakit
yang menyerang raga. Ruang ICU laknat itu – kata cak Rusdi- terasa dingin dan
mengerikan.
Perawat adalah
keluarga baru para pasien
Di bagian bab menjelang buku ini habis, Almarhum Cak Rusdi
bercerita tentang profesi para perawat. Memang kebanyakan perawat sama judesnya
dengan para dokter. Tapi beberapa, ada yang sangat ramah dan malah akrab dengan
keluarga pasien bak saudara sendiri. Kegalakan mereka adalah kebaikan bagi
pasien. Dan itu terbukti, ketika Mamahku dirawat jauh sebelum masuk rumah sakit
besar. Seorang perawat senior mendedikasikan setiap detiknya untuk mengurusi
keperluan mamahku dengan hati yang sabar dan senyum lebarnya. Bikin aku selaku
keluarga pasien, merasa lega, tenang bagai punya sejuta saudara yang
meringankan beban.
Yang lebih menyakitkan
dari kematian
Hal paling menyakitkan itu, justru bukan ketika melihat orang
yang kita sayang pada akhirnya meninggal. Namun saat orang yang kita sayang setiap hari menjelang - selama perjalanannya
menjemput kematian- sakaratul maut. Ketika orang yang kita sayang menghitung hari dengan rasa sakit yang menyiksa,
menyambut akhir kehidupan dengan ingatan tentang anak-anak yang mulai pudar, perpisahan dengan belahan jiwanya, atau ketika perlahan orang yang kita cintai tidak lagi mengingat siapa dirinya,
siapa saja anak-anaknya, sedang apa dirinya di rumah sakit? Tergolek tak
berdaya dengan mulut menganga dipasangi selang dan berbagai macam alat penunjang
kehidupan lainnya. Bagiku, itulah saat paling menyakitkan selama proses
ditinggalkan. Mungkin, demikian juga dengan Voja.
“Tak ada suara atau percakapan terjadi. Devi mendapati Bapak
dan Anak itu hanya saling bersitatap. Saling menggenggam tangan.”
Komentar
Posting Komentar