SIRINE AMBULANS DAN EUFORIA KEMATIAN

 



 Headline berita sudah tidak terlalu banyak menampilkan pasien dan korban covid-19 lagi. Bahkan beberapa kutengok, unit gawat darurat dan shelter untuk isoman diisi oleh pejuang positif kini nampak lengang. Tentu saja ini menjadi berita baik bagi kita semua. Pada akhirnya, kita diperkanankan sejenak menghirup napas dengan lega.

                Sepupu gue juga pernah positif, dan yang lebih mirisnya, dia jauh dari keluarga di rumah. Gue enggak bisa membayangkan betapa dia sangat kesepian di kosannya, melakukan isoman di ruang sempit semacam kosan. Gue hanya bisa berdoa buatnya agar lekas sembuh. Pada saat itu, hanya dukungan moral yang bisa gue hantarkan padanya.

                Rasa takut dan was-was, setiap harinya selalu menjangkiti. Setiap hari pengeras suara masjid berkumandang, mengumumkan kematian baru salah satu warganya.

                Lalu bagaimana dengan suasana perkotaan?

                Tak ada bedanya. Suara sirine ambulance saling bersahutan, mengantar dan menjemput tubuh-tubuh tak berdaya. Ah, sialan. Si mungil menyebalkan menjadi penyebab semua kekacauan di muka bumi ! Sudah dua tahun tajuk berita diisi olehnya, prokontra, konspirasi, bahkan sampai pada perpecahan yang cukup serius. Ah, lupakan gue tidak ingin membahas tentang konspirasi covid.

                Yang pengin gue bahas disini adalah, sirine ambulance. Iya, beberapa waktu lalu. For your information, gue punya pengalaman traumatis tentang suara ambulance lewat.

 Ini sebenarnya bukan perkara mistis. Lebih kepada betapa anehnya alam bawah sadar gue, ketika suara itu masuk ke telinga, diresapi otak, terespons oleh hati, kemudian secara tak terduga bikin gue langsung lemas. Pandangan gue hitam, dan air mata menjadi respons terakhir.  

                Perasaan itu? Gue nggak paham. Yang jelas, ketika suara itu lalulalang, kilasan balik saat gue mengantar Ibu ke rumah sakit pakai ambulance langsung terulang. Seperti roll film yang diputar. Semuanya kembali teringat oleh memori otak. Suara itu nyaring, bahkan kalah keras oleh isak tangis gue. Sudah seperti sound effect saja, ya.

                Perasaan ini berlangsung sejak hari kematian Ibu. Gue nggak berlebihan, sok drama, atau bagaimana. Pokoknya, gue juga nggak bisa memperbaiki perasaan gue tentang ini. Bahkan,hati gue langsung mencelos begitu suara ambulance berada dekat. Sakit rasanya.

                Dilain hari, gue pernah bertanya pada seorang saudara. Dia lebih dahulu ditinggal Ibunya, dengan cara yang juga sama-sama tragis. “Teh, gimana caranya bisa lupa sama kronologi kematian mamah?”

                Dia terdiam sejenak, membuat gue jadi sangat menyesal telah bertanya demikian. Lagian, kok bisa-bisanya gue nanyain pertanyaan yang nggak ada pertanyaannya sih?! Badjingan ...

                Kenapa semua pertanyaan yang gue ajukan tentang satu masalah, tidak pernah terjawab dengan benar. Seperti pertanyaan ini. Dia tersenyum setelah cukup lama memikirkan akan menjawab seperti apa. Jawaban yang gue dapatkan adalah ; Ini semua masalah waktu. Katanya. Itu terlalu sederhana, butuh banyak penjelasan untuk bisa melepaskan diri dari perasaan traumatis yang menyiksa ini.

Tamat.

 

                

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Film The Gangster, The Cop, The Devil (2019) ; Adaptasi Kisah Nyata Terbaik

Review Film METAMORPHOSIS (2019) ; Tipu Muslihat Lelembut Khas Korea

Review Film The Villagers (2019) ; Misteri Skandal Besar di Kota Kecil