CERMIN

 




Di rumah, gue nggak punya cermin bagus. Hanya ada kepingan kaca pecah, yang kebetulan masih layak untuk menjadi wadah wajah bercermin. Sayangnya, gue sendiri nggak pernah tuh pakai cermin. Kenapa ya?

Gue jarang keluar rumah. Dan keluarpun, sebatas ke warung. Balik kerumah, ngunci kamar. Sampai suatu hari, gue ketemu tetangga dan dia bertanya, oh ternyata selama ini gue ada di cigadog? katanya.  

Whut? Bro?! Padahal gue sudah empat tahun diam di rumah. Kadang sebagai beban, tak jarang sebagai patung, kadang cosplay galon aqua, boleh sih jadi janda bolong juga. Intinya gue ada di rumah ya.

Kembali pada cermin. Apa esensi sebuah cermin harus ada di rumah seorang manusia?

Iya, betul. Untuk mengingatkan kondisinya. Seorang manusia haruslah bercermin agar ia paham bagaimana kondisi dirinya (bayangannya)

Dia cantik, jelek, sedang cantik, sedang kumal. Bajunya bagus, kurang rapi, atau gak cocok untuk ootd hari ini. Semua itu akan cermin beritakan kepada manusia. Lantas, apa yang selanjutnya manusia lakukan?

Benar. Manusia akan memperbaiki penampilannya.

 

Tetapi bisakah seseorang memperbaiki hati dan pikirannya ketika selesai bercermin? Entahlah, jawabannya jarang terjadi.

Enggak ada orang yang abis ngaca, terus mendadak pengin hijrah dan naik haji. Wicis, cermin memang perantara perubah fisik semata sih.

Masalah hati, terkadang manusia dapat berubah lewat pristiwa sederhana. Bacaan, tulisan, Atau hal sesimpel click bait media massa. “Subhannallah, kakek ini mendapat donasi setelah dibentak baim wong” bisa jadi akan mengubah hidup seseorang, membuatnya ingin berdonasi atas rasa iba dan demi nama kemanusiaan.

Gue sendiri punya waktu sendiri dalam meratapi kehidupan.

Sayangnya, bukan saat sedang shalat atau bercermin. Justru, gue selalu bermuhasabah dikala lampu kamar mati, jika sulit tidur. Bosan buka tiktok, apalagi youtube. Gue lantas menatap langit-langit kamar. Bulukan. Berdebu.

Namun, seperti ada cahaya yang berpendar darinya. Menghantarkan ketenangan luar biasa. Begitu menghipnotis.

Gue memikirkan banyak hal. Kesalahan yang pernah gue lakukan selama hidup 24 tahun. Dosa kepada Ibu, kepada bapak, kepada saudara. Dan, jawabannya langsung bikin gue pingsan kejer.

Jawabannya, tak terhingga. Bahkan gue merasa tak bisa menghitungnya satu persatu. Astagfirullah, sebanyak itu kesalahan gue sejak hidup?

Tentang betapa tidak bergunanya gue sejak dulu. Nyusahin orang tua, sodara, dan bikin malu. Jadi beban keluarga. Bahkan untuk sekadar ‘melarikan diri’ dari tanggung jawab mereka, gue nggak bisa. Nggak ada cowok yang mau ngelamar gue? menanggung kehidupan gue, membeli nyawa gue? Sialan.

Satu pertanyaan muncul lagi. Masa sih gue nggak pernah berguna?

Gue terdiam lama. Mendengarkan nyanyian jangkrik yang sumbang. Persetan, jawabannya tetap sama. Bagaimanapun gue berusaha mengingatnya, jalan hidup gue memang bobrok dan cenderung ngerugiin.

Dimanapun, gue berusaha buat berguna buat orang lain. Tetapi endingnya selalu merugikan. Enggak berguna, gue pribadi kurang paham sih. Siapa yang mengharapkan gue ada dalam setiap detik hidupnya? Kayaknya emang nggak ada deh.

Makanya gue bingung, kenapa masih harus hidup? Kok Allah masih ngebiarin gue bernapas? Bahkan, ulet di halaman gue aja sering berulang kali berubah. Ganti cangkang, punya sayap, dan tainya jadi pupuk alami tanaman bapak.

Tamat. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Film The Gangster, The Cop, The Devil (2019) ; Adaptasi Kisah Nyata Terbaik

Review Film The Villagers (2019) ; Misteri Skandal Besar di Kota Kecil

Review Drama Empress Ki