MENIKAH ITU SUSAH SUSAH GAMANG

 




Kenalin, nama gue Andini. Sekarang gue lagi sibuk nyari kerja serabutan. Kirim satu artikel ke beberapa media kecil. Kesedihan menampar, nyatanya media besar sangat sulit ditembus. Ah, udah. Nikah aja deh, keknya enak.

Eh, tapi.   

Menurut buku fiqih yang pernah gue baca, sebenarnya hukum menikah itu sunnah. Artinya, tidak dilaksanakanpun, ya gak dosa.

Bahkan, katanya. Justru akan menjadi haram jika seseorang memutuskan untuk menikah, hanya karena berniat untuk  memenuhi hawa nafsu semata.  

Dari sana kalimat ‘tidak berdosa’ itu sayangnya malah terdengar seperti sebuah pembenaran untuk beberapa orang yang masih takut menikah. Atau boleh jadi putus asa, karena tak kunjung mendapatkan jodoh.

“Ah, yaudahlah nggak dosa juga kan gak nikah tuh.”

Padahal kenyataannya, kan sudah dibilang bahwa muslim yang enggak ikut sunnah Rasul, itu sama saja dengan umat yang bukan termasuk dari golongan beliau.  

Menikah itu, menyempurnakan agama. Ibaratnya, jika shalat, puasa, zakat, naik haji, ditotalkan bersih menjadi 50 % maka sisanya adalah Ibadah ; Menikah.

Disini, gue agak mikir. Kok bisa begitu? Padahal amalan yang pertama ditimbang adalah shalat, tapi mengapa menikah bisa memberikan kontribusi amalan nyaris setengahnya?  

Dari apa yang gue amati pada pernikahan orang tua dan kedua saudara perempuan. Jawaban pastinya, adalah bahwa menikah itu  ternyata jadi satu-satunya ibadah yang membutuhkan effort lebih. Pelakunya harus benar-benar siap lahir bathin dalam menjalaninya.

Romansa satu bulan pertama menjadi pengantin baru, satu tahun, dua tahun, tiga tahun, lima, sepuluh, dua puluh, hingga berakhir hanya menjadi teman hidup diusia senja.

Apakah orang tersebut mampu menjalani hari-harinya tidak sebagai dirinya sendiri? Melainkan, hanya menjadi seorang Ayah, Ibu, Istri, atau Suami, misalnya?  

Itu dapat dipastikan. Sebab saat seseorang memutuskan untuk menikah. Itu artinya, ia telah kehilangan sebagian besar jati dirinya.

 Sebagai contoh sederhana, begitu wanita melahirkan. Orang-orang di sekitarnya, cenderung menaruh perhatian terhadap jabang bayi, begitupun ketika si bayi lahir, sang empunya pada akhirnya hanya akan menjadi ; Ibu si anu, Ibunya dek anu, maminya si anu, dan bla bla. Padahal dia punya nama, punya identitas. (Sumber drakor BIRTHCARE CENTER)  

Dalam sudut pandang yang lebih gelap. Pernikahan pada kenyataannya tak melulu berakhir bahagia. Ada pasangan yang malah terjerat hubungan toksik, saling menyakiti baik secara verbal maupun non verbal.

Bagus kalau misalnya masih belum punya anak. Bagaimana jika pernikahan tersebut bermasalah saat anak sudah dalam kondisi memahami apa yang sedang terjadi?

Anak tersebut akan menanamkan keburukan dari masing-masing sosok orang tua. Ia akan linglung, meresapi setiap perkataan dan tindakan dari orang yang menyimpulkan keburukan, mengasumsikan kesalahpahaman sebagai sesuatu yang layak untuk dibenarkan.

Kesimpulan akhir dari anak korban perceraian, adalah  apakah ini salahku? Kenapa aku begini? Kenapa orang tuaku selalu memperebutkanku? Tidak bisakah mereka berhenti bertengkar? Aku bosan.

Tidak semua anak brokenhome berakhir begajulan dan tersesat, jika itu terjadi, biasanya hanya lumrah ditemukan dalam sinetron akhir pekan.

 Tetapi, gue jamin. Mereka, dalam hati terdalamnya, pasti pernah merasa takut untuk menjalani sebuah hubungan.

Terbersit dalam pikirannya, “gue takut kayak orang tua gue dulu” “Apa gue bisa nikah gak ya?” atau “Gue takut nikah sama cowok yang kayak bapak gue” “Kalo nikah nanti, gue bakal kayak Ibu gak ya?” dan lain sebagainya.

Sebuah bentuk nyata atas segala memori yang pernah ia terima dari pernikahan kedua orang tuanya. Apakah itu wajar? Iya, tentu saja. Malah menurut gue, yang nggak wajar itu sosok anak brokenhome yang menormalisasi perceraian orang tuanya sebagai motivasi kesuksesan. Berarti dia masih melakukan pembenaran atas kebobrokan rumah tangga orang tuanya. Itu bukan bentuk penerimaan yang nyata. Hanya sebuah pion untuk mengelak dari kenyataan.

Bagaimana dengan gue? Kapan gue menikah?! 

AH, celaka. Culture orang kampung cukup menyiksa, bagi seorang anak gadis yang jarang pacaran karena lihat cowok saja takut, atau memang pada dasarnya jarang ketemu sama lawan jenis.

Di kampung gue sendiri, anak gadis biasanya menikah dikisaran usia 17-20 tahunan. Kelewat 25 tahun masih belum menikah saja, itu sudah banyak orang yang cemas. Disangka pemilih, seleranya ketinggian, atau kalau prasangka menyudutkan lainnya. Padahal bagi gue, menikah itu ya nikah saja. Nggak ada batasan umur.

Meskipun benar, untuk perempuan. Kondisi rahim akan rawan bermasalah jika sudah tua tak kunjung menikah. Masalahnya, gue masih heran. Kenapa anggapan bahwa perempuan yang 24 tahun keatas belum nikah, suka dikatain perawan tua?

24 TAHUN ! CUAKS....

Padahal sebenarnya, menikah itu Indah. Buat yang dapet jodohnya bagus. Tapi kayak neraka kalau dapet yang begajulan. Toksik relationship. Pada bagian ini, orang-orang terlalu peduli pada template kehidupan saja.

Kapan lulus, kapan nikah, kapan punya anak, kapan nambah anak, kapan dan kapan lainnya. Tanpa peduli perasaan sang penerima pertanyaan?

Definisi sukses di sini terlalu biasa saja. Gue punya seorang kenalan, dia wanita karir yang sukses, punya rumah sendiri, gaji tetap, suka traveling, ke timur Indonesia, bahkan eropa. Tetapi hanya karena belum menikah, orang-orang tetap melihatnya dari sudut pandang wanita yang belum menikah. Sudah, itu saja.

Temen-teman gue udah menikah. Dan gue belum. Apakah gue panas? Iri? Insecure? Tentu tidak. Jangankan nikah, lulus kuliah aja belum. Kerja aja gak pernah. Mau insecure karena pernikahan, ndasmu. Lagipula, gue memang enggak pernah percaya diri kalau menyangkut pernikahan.

Hal yang bikin gue takut nikah.

Gue kalau nikah, gak tahu biayanya darimana? Gue udah nggak punya orang tua. Mau ditaruh dimana muka gue bila harus menghadapi keluarga calon suami tanpa membawa harta sepeserpun?

Andini, andini. Kasihan banget kamu ya nak...

Secara garis besar, gue orangnya bukan yang bisa romantis gitu ke orang lain. Gue takut tiap hari ketemu suami, terus dia bosen dengan gue yang serba kekurangan ini. Mencintai selamanya? Memang cinta akan selamanya tumbuh, apa?!

Yang paling gue takuti, gue takut suatu hari nanti suami gue mengeluh tentang diri gue. Gue yang pemarah, bebal, baperan, sensitif, penakut, dan overthinking utama. Ah, gatau deh. Masa mau cerai gara-gara tiap hari ngelakuin perdebatan ringan doang?

Gue mudah ilfil sama orang, mudah kecewa, mudah kehilangan respect terhadap orang lain. Dan ketika semua itu perlahan berubah menjadi benih-benih kebencian, dapat gue yakini, gue nggak bisa bermuka dua. Gue tuh bahkan kalau liat orang yang gue benci muncul, hawanya udah pengin marah aja sih.

Selanjutnya, gue takut kehilangan jati diri gue saat udah nikah. Meski sekarangpun sudah sebenarnya, tapi kalau udah menikah. Tiba-tiba kita jadi istri orang, kan? Jadi orang tua, jadi Ibunya orang. Ah, apakah gue bisa bertahan dengan semua itu? Gue takut marahin terus anak gue nanti, sehingga tercipta kembali bibit lain diri gue di masa depan. Pecundang.

Menciptakan replika lain dari apa yang kita benci. Itu sebenarnya nggak selalu akan terjadi, tetapi kemungkinan terjadinya juga besar.

Berkaca pada kehidupan pernikahan kedua orang tua gue pribadi. Kesimpulannya adalah bahwa, pernikahan itu bukanlah sesuatu yang musti didambakan. Pernikahan itu susah-susah gamang, udah mah susah, bikin gamang juga.

Jadi, mau gue nikah kapanpun. Itu urusan gue dengan Allah. Besok atau lusa gue nikah, itu takdir. Lama nikah, itu juga takdir. Harus diterima dengan dada yang lapang.

Ketika tulisan ini gue posting di salah satu media kecil. Gue membaca komentar netizen yang maha benar.

“Ini cewek korban paham feminism”

“Semoga jadi doa buat mbaknya”

“Semoga gw gak ketemu sama cewek modelan begini”

“Apaansi, kan cewek emang begitu kodratnya”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Film The Gangster, The Cop, The Devil (2019) ; Adaptasi Kisah Nyata Terbaik

Review Film The Vanished (2018) ; Kisah balas dendam terniat

Review Film The Villagers (2019) ; Misteri Skandal Besar di Kota Kecil