Surat untuk ibu

Oleh Sukma Nurrizki

                      


          Aku benci ibuku,  yang selalu berbohong ketika kutanya “ Bu sudah makan belum?” dan dia menjawab “Sudah, kamu saja yang makan”. Padahal usai ku habiskan semua menu di meja makan, samar terdengar perut ibuku yang bersuara nyaring lantaran menahan lapar.
     
     Aku benci ibuku, yang selalu berbohong ketika kutanya “ Bu, mau tidur disini nggak?” dan dia menjawab “ Nggak ah, gerah. Ibu tidur di bawah, Kamu saja yang tidur di atas. ”. Padahal malam itu jelas-jelas kami terdampar di tempat asing yang dingin.

       Aku benci ibuku, yang selalu berbohong ketika kutanya “ Bu, hujannya deras. Sini kita pakai payung nya berdua saja.” Dan dia menjawab “ Nggak ah, kamu saja yang pakai. Ibu udah tanggung basah.” Padahal senja itu hujan turun begitu deras di sela perjalanan kami ke suatu tempat. Menyusuri jalan setapak yang becek, basah di bawah berjuta bulir hujan yang sedingin es.


       Aku benci ibuku, yang selalu berbohong ketika kutanya “ Bu, mau beli baju yang mana? Aku gajian. Ayo kita beli baju !.” Dan dia menjawab “ Nggak ah, baju ibu masih banyak kok. Lagian ibu nggak suka model baju jaman sekarang aneh-aneh semua.”  Padahal siang itu berpuluh model baju yang cocok buat ibuku tersampir rapih di toko-toko kelontong, tersenyum menyapa untuk kami beli.

         Aku benci ibuku, yang selalu berbohong ketika kutanya “ Bu, bagaimana hari ini? Semuanya lancar kan?” Dan dia menjawab “ Iya dong, alhamudulillah hari ini baik-baik saja.” Padahal aku tahu apa yang terjadi padanya hari ini, bermacam kesulitan datang menimpa harinya. Berbagai kesialan menyapa harinya, sungguh kusut wajah ibuku, tapi dia berusaha untuk tidak berkeluh kesah di depanku.
  

    Bu, aku ingin ibu berhenti membohongiku tentang perasaanmu yang selama ini baik-baik saja. Berhentilah berlagak baik-baik saja di hadapan anakmu agar membuatnya tidak khawatir. Jujur saja, bilang kalau ibu sedang lapar, bilang kalau ibu kedinginan, bilang kalau ibu basah kuyup, bilang kalau semua baju ibu sudah lusuh, bilang kalau hari ibu tidak baik-baik saja, kumohon berkeluh kesahlah, kumohon berhenti berkorban demi aku, kumohon bu.
         Aku tak ingin ibu menahan lelah semakin lama, sejak kecil sampai aku yang sudah sukses sekarang ini ibu tetap berusaha mengesampingkan penderitaan ibu hanya untuk kebaikanku semata. Bahkan ketika aku ingin membalas semua yang sudah ibu berikan, ibu tetap mengelak, bilang kalau hanya dengan melihatku sukses saja, itu sudah cukup bagimu.
     
     Bu, izinkan aku mengakhiri semua penderitaanmu saat berjuang merawatku selama ini. Akhirilah semua kebohongan itu. Belajarlah bersandar padaku. Akan kuganti semua pengorbanan itu meski takan ada cara yang sepadan untuk mengganti semuanya.

       Teruntuk ibuku. Selamat hari ibu. Aku sayang ibu. 
        
                                                 ***


         Tadinya aku ingin memberikan surat itu kepadamu, tapi setelah menimang cukup lama. Rasanya semua kalimat yang ada di dalamnya sama sekali tak cocok dengan pribadiku. Aku belum sukses, dan itu cukup memalukan. 

      Mau bagaimana lagi ya. Kalau punya uang sih, mobil juga aku kasih bu. Aku cukup resah dengan kemiskinan ini, maksudku tentang aku yang tak bisa menghasilkan uang. Tentang aku yang menulis banyak hal namun tak lekas menerbitkannya. Tentang aku yang banyak mengikuti lomba menulis, namun tak kunjung memenangkannya.
       Mau bagaimana lagi ya. Kalau punya uang sih, aku ingin membawamu ikut serta mengelilingi dunia sebagai cita-cita baruku. Iya benar, aku sedikit pusing bu. Bahkan cita-cita utamaku saja belum terwujud, namun mimpi ini kian melambung. Bahkan berhasil menenggelamkan segala ketidakmungkinan.

        Mau bagaimana lagi ya. Inginnya sih aku bilang sayang padamu. Secara langsung, namun rasanya terlalu memalukan. Aku tidak berani, juga tidak sanggup menahan air mata nantinya.

     Ibu selalu bertanya pada Allah. Tentang apakah ibu sudah berhasil menjadi ibu yang sempurna untuk anak-anaknya, tentu dengan segala kekurangan yang ibu miliki. Kalau boleh jujur sih, menurutku ibu adalah yang terbaik di dunia ini. Untukku, untuk kami.
     
      Kehilangan ibu di usia muda, berjuang menempuh pendidikan seorang diri, terasing di kampung tak berlistrik, bertemu bapak yang pada akhirnya menjadi luka, dan mungkin maaf jika aku selama ini menambah lukamu. 

     Setiap kali mendengarkan kisah hidupmu. Bahkan jauh sebelum ibu memiliki kami. Perjuanganmu melawan pahit getir kehidupan ini sudah membuktikan bahwa ibu adalah sosok yang kuat, hebat, dan sempurna.

   
     Bu, sepanjang hidupku. Aku tak pernah berpikir sesuatu yang nantinya akan melukai perasaanmu. Tapi kini, pikiran itu muncul. Kadang aku merasa malu jika harus berkaca pada masa lalu yang sudah kulewati bersamamu.
      Padahal ibu sudah sangat sabar punya anak sepertiku, ibu yang sejak aku kecil tak pernah malu membawaku kemana-mana. Justru dengan bangga mengenalkanku sebagai bungsumu kepada teman-teman. Tapi aku sering menyakitimu, dengan tingkah pongahku.

      Padahal ibu tahu kalau aku berbeda dengan anak lain, tapi ibu selalu menganggapku sama dengan mereka. Ibu tidak pernah berkata sarkas pada mereka yang memandangku berbeda. Sebaliknya ibu berkata “ Hey, anakku sama loh dengan anak kalian.” Tapi sekarang aku merasa tak pernah membanggakanmu. Aku terlalu dingin untuk semua itu. 

       Saat aku melewati hari-hari yang mengerikan, dimana rasanya ingin mati saja. Aku masih ingat ketika ibu berkata “ Yasudah mati saja sana, ibu nggak peduli. Itu akan menjadi urusanmu dengab Allah. ”. Maka bukannya ingin mati, aku justru ingin memelukmu. Ibu selalu mengiyakan keputusanku, keinginanku, harapanku.


          Bu, ketika kita melewati hari yang buruk bersama di rumah itu. Aku selalu berdoa pada Allah, biarkan aku saja yang menanggung lukamu. Demi melihatmu yang setiap malam terisak dengan penuh perasan sendu, aku ikut menangis. Hatiku meraung, nalarku berontak hebat. Rasanya amat mengerikan tatkala aku tak mampu memboyongmu pergi dari kenestapaan hidup.
   
        Bu, lini masa kehidupanku rasanya sudah sangat jauh. Aku melewati berbagai hal yang mengerikan, menyenangkan, mengharukan, sampai menggelikan. Kalau ku ingat lagi, dulu sekali. Ibu adalah segalanya bagiku. Ibu yang pergi dinas hanya untuk sebulan pun nyatanya sanggup membuatku demam parah. Pun sekarang tetap begitu, meski tak sampai demam. Rasanya tetap hampa . Seorang diri, tanpamu.  


     Bu, bahkan sekarang aku takut. Aku ragu sekali. Tentang janji masa depan yang seringkali di paparkan idolaku Tere liye. Aku takut tidak akan menjemput janji tersebut dengan baik. Aku takut jika nantinya semua janjiku padamu hanya akan menjadi janji tertulis dalam surat. 

    Bu. Maka bantulah aku. Iringkan doamu di setiap langkahku. Agar aku tak tersesat. Agar aku dapat menjemputmu di penghujung kebahagiaan. 😭😭😭 

      Bu. Selalu sehat ya. Jangan sakit. Kalau ibu sakit, hatiku juga sakit. 



     

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Film The Gangster, The Cop, The Devil (2019) ; Adaptasi Kisah Nyata Terbaik

Review Film The Vanished (2018) ; Kisah balas dendam terniat

Review Film The Villagers (2019) ; Misteri Skandal Besar di Kota Kecil