Jadi, Apa Yang Paling Terasa Sakit menurut Manusia?
![]() |
kompasiana |
Suatu Siang,
Semester lima.
Sahabatku
menangis segukan, air matanya tumpah membanjiri sudut-sudut kamar kostnya yang
tak seberapa itu. Ia enggan menatapku dengan matanya yang sembab. Mungkin lebih
baik aku tak peduli saja, lagipula ia juga tidak yakin apakah aku akan peduli
dengan rasa sakitnya itu atau tidak.
Jadi kami saling mengabaikan.
Sebenarnya,
aku memang tidak peduli mengapa ia menangis sedemikian menyedihkan tersebut.
Hanya saja, sebagai makhluk sosial yang harus selalu berbasa-basi demi menjaga
kelangsungan hubungan baik. Akupun terpaksa mulai menyambanginya, menyelami apa
yang menjadi keresahannya kini.
“ Gue baru
aja putus, tunangan gue selingkuh.”
Yaampun,
gitu doang. Dalam hati aku berujar. Kirain kenapa gitu.
“ Wah sialan
banget tuh cowok, udah dapet yang bagus kayak lo, masih aja selingkuh?”
Balasku, yang kemudian malah membuatnya semakin terisak. Ah, apa aku salah
ngomong?
Apa ini
semua karena aku tidak dapat ikut meresapi rasa sakit sahabatku? Kalimatku
barusan sebenarnya hanya sebuah reaksi natural ketika kamu mendapati seseorang
yang menurutmu sudah sempurna, namun masih disia-siakan. Bagiku mungkin memang
wajar, namun entahlah bila sudah sampai ke telinga sahabatku? Boleh jadi, aku
malah makin menyakiti hatinya. Haduh.
Maka aku
memutuskan diam. Tidak berkomentar.
***
Satu Tahun Yang Lalu.
Aku masih ingat saat bumi terasa
masih terguncang dan porak poranda. Hatiku hancur berkeping-keping. Duniaku
runtuh. Dokter berteriak dengan lancang dan lantang tentang waktu kematian
Ibuku.
Itu bohong !
Kenapa Ibuku
tiba-tiba mati?
Bukankah
malam kemarin beliau tersenyum tidur dipangkuanku? Bilang ingin cepat pulang ke
rumah. Tak ingin kutinggalkan sedetikpun, sampai aku bertarung dengan diriku
sendiri. Memutus hasrat ingin pipis demi tetap memangku Ibuku.
Dokter
sialan. Kerja apa dia?
Menyelamatkan
nyawa Ibuku saja tidak becus ! Tidak sebanding dengan puluhan Juta yang kakakku
gelontorkan untuknya. Ah, sangat sial.
Esoknya.
Rumah di kampung halamanku berubah menjadi Rumah duka. Semua orang memasang
topeng dukanya masing-masing. Menghadapku dengan kemampuan lakon terbaik
mereka. Dan aku mengiyakan saja. Biar cepat selesai semua prosesi memuakan ini.
Cih ! tahu apa mereka tentang perasaanku? Ditinggal Ibu meninggal saja, mereka
tak pernah merasakan !
“ Sabar nak,
kamu masih terbilang beruntung jika dibandingkan orang lain yang sudah
ditinggal Ibu bapaknya bahkan sejak masih kecil,” Seseorang terdengar
berceloteh padaku, konteks pengibaratan rasa sakit yang tidak bijaksana.
Bagaimana mungkin dia tega berkata demikian pada aku yang sedang berduka ini?
Ya Tuhan,
mengapa manusia selalu sehebat ini dalam membandingkan rasa sakit orang lain?
Aku terisak.
Rasa sakit semakin menjadi. Menenggelamkan rasa sakit yang sedang kurasakan
demi mensyukuri rasa sakit yang tidak separah dan sebesar milik orang lain
adalah hal terburuk yang pernah kurasakan dalam hidupku.
***
Kemarin Sore.
Aku sangat
resah dengan segala pemikiran tentang kuliah online. Pun demikian dengan oleh-oleh
perminggu yang akan menjadi pemenuhan syarat permata kuliah itu sendiri.
Teman-teman
yang lain, bingung. Setengah frustasi katanya kalau mengingat tugas yang
berjibun menyapa. Sementara aku, entah mengapa merasa amat menikmati sistim
ini.
Ya Tuhan,
betapa nikmatnya. Tidak usah mandi, dandan, pergi berkendara, pulang kehujanan
hanya untuk melihat kondisi rumah kosong nan creepy ini saja nantinya.
Keren sekali kecanggihan teknologi ini.
Berulang kali aku terpesona.
Namun sore
itu, aku bingung harus nyamil apa. Camilan sudah habis. Pun demikian dengan
batas terakhir uang jajan. Ehm, lalu terbesit untuk membuat semacam camilan
merakyat. Camilan sejuta umat. Cimol namanya.
Aku asik
menggorengi bulatan-bulatan sebesar upil gajah yang sebelumnya telah
kepersiapkan seorang diri itu. Lantas kulepaskan satu persatu adonan untuk
terjun bebas berenang di kolam minyak panas tersebut.
Untuk
sepersekian menit kemudian. Adonan itu meledak sembari menyemburkan minyak
panasnya padaku. Sehingga bagian tangan kananku, serta beberapa area di wajahku
terkena muncratan minyak panas. Jenius sekali, Sukma !
Haduh, akan
kubunuh kau bila bertanya seperti apa rasanya.
Kumohon.
Rasanya sangat sakit. Perih. Panas. Tak karuan pokoknya. Seolah satu jam lagi
malaikat akan menjemputmu. Seakan itulah hari terakhirmu bernapas di dunia.
Tiada duanya.
Sampai-sampai,
ketika tanganku dibantu dicelupkan ke wadah yang tergenang air. Aku merasa
ibuku sedang menatapku. Beliau ada disampingku untuk ikut menenangkan. Hm,
dasar. Alam bawah sadar memang seringkali menipu akal. Kupikir Ibuku memang
hidup lagi. Sampai kemudian rasa sakit itu semakin menjalar. Namun kali ini
diikuti rasa penyesalan yang mendalam.
Mendadak aku
menyesal karena pernah mengabaikan rasa sakit Ibuku saat terkena serangan
Jantung. Ya Tuhan, aku tahu bahwa saat itu beliau sangat kesakitan. Tapi aku
hanya diam tak berkutik. Hanya lantunan doa sesaat yang kupanjatkan agar engkau
mau meringankan rasa sakitnya.
Oh, jadi
begitu ya rasanya Bu? Atau bahkan lebih sakit ya, bu? Sungguh maafkan aku.
Mungkin ini rasa sakit yang tak seberapa jika dibandingkan dengan rasa sakitmu
menuju maut.
***
Jadi,
bagaimana sih rasanya menjadi manusia yang benar-benar tersakiti? Apakah rasa
sakit manusia pada dasarnya sama dengan segala kadar yang hadir di dalamnya.
Bukankah
rasa sakit orang lain tidak berarti terasa sama sakitnya dengan yang kita
rasakan?
Sudut
pandang memang penting dalam meresapi rasa sakit.
Yang bagimu
terasa amat pedih dan perih menyayat relung hati. Belum tentu sama pedih dan
perihnya buat orang lain. Pun demikian jika berulang kali kita mencoba ikut
bersedih tentang kesedihan orang lain, kadang ikut terasa, tapi kadang juga
tetap tak terpahami.
Kau hanya
perlu diam bila ingin berduka tentang rasa sakit orang. Jangan malah berusaha
menggurui dan menghibur dengan cara yang salah. Ehm, maksudku. Itulah yang
selama ini kupelajari saat menghadapi rasa sakit orang lain dan diri sendiri.
hehe
Komentar
Posting Komentar