Review Film LITTLE WOMEN (2019) ; Kisah Manis Ciwi-Ciwi Serahim Sesiblings




Sutradara                  :  Greta Gerwig
Penulis  Naskah      :  Greta Gerwig Based Little Woman karya Louisa M. A
Pemeran                     :

Saoirse Ronan Sebagai Jo March
Emma Watson Sebagai Meg March
Florence Pugh Sebagai May March
Eliza Scanlen Sebagai Beth March
Thimothee Chalamet Sebagai Laurence
Laura Dern Sebagai Marmee March

Distributor : Sony Pictures Realising
Durasi : 2 Jam

Tentang :
            Bakal berkisah tentang keseharian empat saudari yang sejak kecil hingga remaja hidup seatap dalam berbagai  kondisi.  Bapaknya ikut perang, biasalah sok-sok-an ngebela Negara gitu. Begitupun dengan emaknya. Pekerjaannya mengharuskan dia jauh dari rumah kalau mau dapet uang.
            Paling tua, ada Jo yang udah kayak emak kedua buat ketiga adiknya. Jo ini punya bakat nulis, walaupun tulisannya sering ditolak penerbit. Tapi dia masih nulis karena emang passion dia disitu. Eh, engga deng. Dengan nulis, katanya dia bisa bantu perekonomian keluarga. Maklumlah ya, keluarga mereka emang gak miskin, tapi enggak kaya juga.
            Di tempat kedua, ada Meg . Paling feminim diantara semua saudarinya. Amy ini punya bakat cemerlang di bidang lakon. Bahkan, dalam klub teater kecil yang dia dirikan bersama saudari-saudarinya, Amy selalu kebagian jadi peran utama perempuan. Menerjemahkan kisah yang ditulis Jo kedalam bentuk visual.
            Ketiga, ada Amy. Anak paling pecicilan dan kadang ngeselinnya minta ampun. Tapi disisi lain, Amy ini adalah sosok yang selalu menjadi korban bayang-bayang kedua kakaknya. Bahkan adiknya. Amy punya sisi buruk dalam dirinya. Yang sewaktu-waktu ngebikin dia ngerasa enggak sama kerennya dengan ketiga saudarinya. Hingga akhirnya, sesekali Amy frustasi karena ngerasa enggak berguna.
            Terakhir. Si bontot yang pendiam tapi tegas. Ada Beth. Yang sayangnya dia emang digambarkan sebagai gadis yang enggak punya banyak hal menarik dalam kehidupannya. Kesana-sini aja, ngikut kakak-kakaknya.
            Masa kecil mereka jelas seru banget. Dilalui dengan penuh keceriaan walau ditengah kondisi yang serba kekurangan sekalipun. Begitupun dengan masa remaja, keharmonisan satu sama lain masih tetap terjaga. Bahkan terasa lebih erat satu sama lain.
            Sampai suatu hari. Mereka mulai menyadari. Bahwa menjadi dewasa itu sulit. Mereka banyak menanggalkan hal yang dulu indah. Perlahan tapi pasti. Kehidupan dewasa mereka mengubah kondisi manis suasana persaudaraan mereka. Konflik antar pribadi, maupun satu dan lain pihak bikin mereka akhirnya paham kalau hidup enggak harus selalu sama. Semua terkadang enggak harus selalu sesuai dengan realitas masa kecil, yang manis dan adem ayem aja itu.
            Terlebih, mereka harus kehilangan salah satu saudari mereka.

Review :
            Beberapa waktu lalu, film ini berhasil menyabet beberapa nominasi untuk penghargaan bergengsi sekelas Oscar. Satu panggung barengan Parasit dan film besar lainnya.
            Wajar kalau misalnya Litte Woman masuk nominasi. Dan memenangkannya. Soale ini film mboh yo apek tenan rek. Siga, kumahanya. Mahaya Karya anu asalna tina maha Karya oge ningan. Sae pisan.
            Pertama, kita bakal sedikit dibuat bingung dengan pemakaian ploting yang maju mundur. Yang kemudian baru gue sadari bahwa formula ini ternyata memberi efek cukup besar buat suspensi ceritanya sendiri.
 Karena cerita film ini sebenernya cukup sederhana dan tipis. Sehingga kalau menggunakan cara normal dan biasa aja, tentu film ini bakal berakhir amat membosankan.
            Yang bikin film ini terasa sangat  hidup.  Menurut gue ada karakterisasi yang tidak mendikte. You Know lah, saking panjangnya durasi film ini. Kita sebagai penonton bakal tiba-tiba ngerasa dekat secara personal dengan setiap karakter yang ada. Karakter diperkenalkan dengan narasi cerita. Juga dengan sikap dan sifat mereka dalam kesehariannya.
            Tapi yang agak masalah buat gue pribadi sih, kalau selama nonton itu kita fokus. Niscaya film ini akan terasa sangat menyenangkan. Charming dengan segala pesonanya. Namun, jangan sampai kita enggak fokus dengan melewatkan satu dua adegan transisi masa ke masa sebagai perbandingan kehidupan Jo kini dan dulu. Maka, percaya deh. Boring bukan main.
            Jangan tanya segimana cantik film ini. Padahal cewek lho yang nyutradarinnya tuh. Ah ! atau jangan-jangan, karena cewek itulah maka jadinya film ini terasa lebih manis dan keciwi-ciwian banget, ya?
            Haduh, jangan tanya penampilan jajaran aktris besarnya. Enggak kuat !
            Overall. Gue suka banget gimana film ini memberikan kesempatan kepada para perempuan untuk menguasai sebuah kisah. Sepenuhnya. Tanpa batas !
            3.5 / 5 Bintang

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Film The Gangster, The Cop, The Devil (2019) ; Adaptasi Kisah Nyata Terbaik

Review Film The Villagers (2019) ; Misteri Skandal Besar di Kota Kecil

Review Film 7 Alasan Mengapa The Handmaiden (2018) Begitu Memesona