Merenung Dalam Renungan









Aku sebenarnya ingin sekali berterimakasih pada Corona. Berkatnya, liburan selama nyaris satu bulan akhirnya dapat terwujud ditengah rasa lelah bathin yang semakin tak karuan.  Tak sampai disana, impianku untuk hidup berumah tangga kembali juga sama-sama Allah kabulkan.
                Kakak pulang. Sepulang-pulangnya. Rumah jadi kembali seperti rumah, deh.
                Aku sangat bahagia. Sungguh. Kali ini benar-benar terasa hidup kembali. Walaupun perasaan itu muncul hanya sesekali. Namun setidaknya, ia tetap muncul kan? Selama berada di rumah, bersama-sama melawan covid dan ego diri. Kami sering bertengkar. Tapi lebih sering juga akurnya. Ah, biasalah. Siblings kalau hidup satu atap dalam jangka waktu lama, ya begitu.
                Tapi semakin hari. Kata-katanya kian menyadarkanku. Bahwa aku ternyata memang gila. Mental Ilness bahasa halusnya. Aku sering marah, mengeluh untuk hal kecil. Mudah tersingguh dan masih banyak. Yang kuyakini, bahwa selain orang lain pasti takan ada yang tahan hidup bersama dengan segala tingkah lakuku ini .
                Kata kakak. Dia takut padaku. Aku ini menyeramkan.
                Kalimat itu terus berulang di benak. Membuat monster-monster dalam alam bawah sadarku bangkit dan tak habis-habisnya merecoki tidurku. Aku mimpi buruk. Seburuk-buruknya mimpi.
                Benarkah?
                Aku beneran gila ya?
                Aku harus bagaimana?
                Aku harus hidup untuk siapa lagi?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Film The Gangster, The Cop, The Devil (2019) ; Adaptasi Kisah Nyata Terbaik

Review Film The Villagers (2019) ; Misteri Skandal Besar di Kota Kecil

Review Film 7 Alasan Mengapa The Handmaiden (2018) Begitu Memesona