Pak Guru Misterius
Aku percaya. Masa lalu
adalah sebuah jurus pamungkas yang kerapkali sukses menumbangkan seseorang.
Yang tadinya biasa saja dan cenderung bahagiapun Kalau disuguhkan masa lalu,
dia akan secara tiba-tiba berubah menjadi melankolis.
Tapi akan menjadi lucu bila momentum itu datang
disaat kurang tepat. Misalnya, kita ketemu mantan. Tapi ketemunya pas dia udah
punya Istri dan anak, sedangkan kita sendiri masih betah sendirian. Sedikitnya,
kelebatan kesedihan akan datang menghinggapi. Yakan?
Tamu undangan silih berganti mengisi slot kursi yang
kosong. Sepanjang acara, aku banyak mengamati orang-orang. Diantara semuanya,
nyaris sembilan puluh sembilan persen aku mengenal baik mereka.
Sampai suatu detik. Rombongan Guru sekolahku semasa
remajapun tiba. Satu persatu kuamati wajah-wajah syahdu penyelamat bangsa
tersebut. Dalam hati aku berdoa tulus, untuk pertama kalinya tanpa embel-embel
kisah pilu masa lalu. Ya Allah, semoga engkau memberkahi kehidupan mereka
semua. Semoga amal jariah akan terus mengalir sepanjang durasi hidup mereka sebagai
investasi akhirat begitu kehidupan berakhir.
Tetapi doaku secara otomatis terputus tatkala
kudapati sebuah wajah yang asing. Saking asingnya, aku sampai penasaran
setengah mati siapa profilnya. Pak Guru yang tak kukenali itu masih muda, tampan
( hehe) dan sumpah aku gak tahu siapa dia.
Tapi...
Dari satu sudut pandang. Akhirnya aku tahu siapa dia.
Ya Rabb, ternyata Pak Guru itu adalah kakak kelas yang pernah mengasuh hatiku
beberapa bulan ketika masa SMA masih menjadi latar kehidupanku.
Hahaha
Bagaimana mungkin diriku bisa selupa itu mengingat
sosoknya?
Wah, kamu sudah menjadi Guru ya a. Hehehe
Ketika hal itu terjadi. Kupikir dia juga mengalami
hal yang sama. Awal kemunculannya, kami
kompak saling mengabaikan. Aku menyambut ( tidak juga sih) para Guruku tercinta
memasuki gedung, selintas menatap sosok baru diantara mereka itu, lalu yasudah,
kuabaikan. Dia juga begitu padaku.
Tapi menjelang akhir. Kami sama-sama memasang wajah “
Eh, ternyata dia...” dan menatap kikuk. Aduh sialan, seharusnya sekalian saja
aku tak menyadari siapa dia. Kenapa? Kenapa harus sekarang?
Lihatlah kondisiku.
Aku bukan pengantin. Aku...
Hanya pager Ayu. Termenung lesu disudut gedung
pernikahan, menyimak kemesraan super manis dari sahabatku yang punya hajat.
Pak Guru lalu menyambangiku. “ Eh, damang neng?”
Kakunya, begitupun aku yang hanya bisa menjawab dengan “ Alhamdulillah.” yang kurasa
lebih kaku dari miliknya.
Tak kusangka. Ironi terus mengekang jiwa. Apalah
daya, sehabis itu aku terkulai lemah.
Rasanya seperti ditelanjangi masa lalu. Memalukan ! Hahahaha
Komentar
Posting Komentar