Review Film The Bang Bang Club (2011) ; Perjuangan Para Wartawan Foto
Sutradara : Steven Silver
Penulis Naskah : Steven Silver
Story By : Greg Marinovich & Joao Silva
Pemeran :
Ryan Philippe Sebagai Greg Narinovich
Malin Akerman Sebagai Robin Comley
Taylor Kitsch Sebagai Kevin Carter
Frank Rautenbach Sebagai Ken Oosterbroek
Neels Van Jaarsveld Sebagai Joao Silva
Distributor : Paramount Pictures
Durasi : 106 Menit
Tentang :
Film
dokumenter kali ini, akan mengangkat kisah empat Jurnalis foto paling fenomenal
tahun 90-an. Bidikan-bidikan yang didapatkan mereka pada masa itu, selalu masuk
headline media di seluruh dunia.
The Bang Bang
Club sendiri merupakan nama grup yang sebenarnya tidak pernah secara resmi
mereka akui. Orang-orang melabeli mereka sebagai Bang Bang Club karena
disinyalir menjadi perwakilan para Jurnalis foto paling berani menerjang
kerusuhan, baku hantam, dan desingan peluru demi sebuah foto.
Inti pesan
yang ingin fim ini sampaikan kepada kita yang seringkali memandang pekerjaan
Jurnalis foto tidak lebih sulit dari Jurnalis tulis, bahwa perspektif tersebut
nyatanya sama sekali tidak benar.
Perjalanan
keempat sahabat ini diangkat menjadi film, untuk membuktikan bahwa kerja keras
seorang Jurnalis Foto itu tidak mudah.
Review :
Jujur, gue
merupakan salah satu mahasiswa Jurnalistik yang seringkali mencibir pekerjaan
wartawan foto saat mata kuliah Jurnalistik Foto berlangsung. Pikir gue, apanya
yang susah dari profesi tersebut? Bukankah sang wartawan hanya harus memotret
objek calon berita saja kan? Beda halnya dengan wartawan tulis yang proses
kerjanya dua kali lebih rumit. Proses pengolahan berita keduanya jelas berbeda.
Namun
setelah menonton film ini. Gue akhirnya menyadari. Marabahaya yang mengancam
wartawan foto ternyata lebih eksplisit dibanding mereka yang hanya menulis
berita tentang sebuah isu.
Ibaratnya.
Kalau wartawan tulis menulis berita yang nantinya memicu kontroversi. Dampak
langsung sekalipun mungkin hanya akan berupa teguran, paling parah penuntutan
atas pencemaran nama baik. Dan paling ekstrim lagi ya mungkin diculik dan
dibuang ke laut. Tapi itu butuh waktu beberapa lama untuk sampai ke tahap yang
disebutkan.
Berbeda
dengan wartawan foto. Mereka mendapatkan ancaman dan bahaya secara kontan.
Langsung didepan mata tanpa harus menunggu jeda untuk menjadi korban.
Dalam film
ini misalnya. Empat wartawan Foto yang dikisahkan punya rutinitas membidik
momentum krusial kerusuhan dan perang saudara di afrika. Suku-suku saling
mengejek satu sama lain, lebih dari itu, saling bunuh, tembak, dan bakar.
Pernah gak
sih wartawan tulis membayangkan reportase ke daerah semacam ini?
Secara
gamblang disakijkan adegan dimana keempat fotografer tersebut menerobos
kerusuhan, berdiri penuh kekhawatiran ditengah kekacuan. Dan apa yang mereka
lakukan? Mengambil gambar !
Akan ada
risiko tinggi atas pekerjaan mereka. Boleh jadi kesabet parang milik tetua
suku, atau barangkali peluru panas milik aparat yang bar-bar. Tapi demi foto,
mereka seolah gak peduli sama semua itu.
Penghargaan
demi penghargaan mereka dapatkan sebagai Individu. Diceritakan bahwa dua
diantara anggota ; Kevin dan Greg lah
yang paling berprestasi.
Pernah tahu
gak? Sebuah foto Jurnalistik paling fenomenal yang memenangkan penghargaan
bergengsi untuk para Jurnalis? Foto seorang gadis kecil kelaparan, yang
dibelakangnya sudah menunggu burung bangkai untuk lekas memangsa calon mayat si
anak tersebut.
Nah, itulah
kisah fenomenal yang dihadirkan sebagai bagian dari film ini. Kisah
kontroversial seorang wartawan foto yang paling banyak dikecam setelahnya.
Banyak yang beranggapan, bahwa Kevin tidak jauh berbeda dengan sang burung.
Tidak berperasaan, hanya peduli pada frame kamera saja. Kata netizen.
Dibanding
pertempuran dengan bahaya bentrokan dan sejata tajam. Pada akhirnya komentar masyarakat
dunia prihal foto yang diambilnya, membuat kevin mengakhiri hidup.
Mari kita
bahas sisi humanitas dari profesi ini.
Setiap
karakter diceritakan punya penyesalan pribadi tentang foto-foto yang mereka
ambil. Gelimpangan mayat, korban pembunuhan, orang dibakar, bahkan sampai pada
adegan dimana salah satu anggota tertembak matipun masih sempat-sempatnya
mereka abadikan lewat bidikan kamera. Pertanyaannya, apakah mereka tidak merasa
bersalah?
Tentu saja.
Bahkan kevin sendiri sudah mengalami depresi atas hal yang dirinya lakukan
tersebut. Kebiasaan yang mengharuskan dirinya mencari angle terbaik sebuah
pristiwa, lambat laun meredupkan sisi kemanusiaannya. Dia jadi tidak peduli
lagi terhadap hal-hal yang bersinggungan dengan hati nurani. Ah, yang penting
dapat foto.
Jadi wartawan
foto juga harus siap menghadapi komentar masyarakat. Jika tidak kebal mental.
Pada akhirnya akan depresi seperti kevin. Bukan itu maksud dari dirinya
mengambil foto, tapi orang-orang sudah terlanjur menganggapnya demikian. Jadi apa
boleh buat.
Komentar
Posting Komentar