Ngomongin Tentang CAR ; Bagian Dari Jurnalisme Masa Depan
Perkembangan teknologi menciptakan inovasi-inovasi
balu dalam bidang jurnalisme, jurnalisme sedang
mengalami euforia dengan sebuah "robot" yang menulis berita. Banyak
media besar di Eropa dan Amerika sudah menggunakan cara ini untuk memproduksi
cerita di kanalnya. Tidak hanya puluhan atau ratusan, tetapi sudah terbilang
ribuan cerita setiap harinya.
Fenomena ini
disebut dengan "Robo-journalism". Namun, ada
juga yang mengenalnya sebagai Automated-Journalism. Kedua istilah tersebut
merujuk kepada penggunaan perangkat lunak kecerdasan buatan (Artificial
Intelligence) untuk memproduksi konten di situs berita. Caranya sendiri cukup sederhana.
Sang robot akan mengakses basis data yang tersedia, kemudian merangkainya
menjadi tulisan berdasarkan formulasi yang telah digariskan oleh programmer dan
editor.
Agar sang robot bisa menulis lebih
humanis, para pengembang berusaha memasukkan lebih banyak variasi bahasa ke
dalam Natural Language Generation (NLG). NLG sendiri merupakan sistem
kecerdasan buatan yang mampu mengkomunikasikan basis data ke dalam bahasa
manusia yang lebih dinamis dan fleksibel. Pada penerapan sehari-hari, kita menemukan
NLG dalam Google Assistant di Android dan Siri di IOS. Meskipun demikian,
beberapa orang menilai bahwa Robo-Journalism atau Automated-Journalism memiliki
makna yang lebih luas dari hanya sekedar robot yang menuliskan berita.
Advertisment
Alexander Fanta, peneliti dari
University of Oxford, dalam jurnalnya berjudul Putting Europe's Robots on the
Map: Automated Journalism in News Agencies, menyebutkan bahwa
Automated-Journalism tidak hanya sekadar menuliskan berita. "Namun, juga,
mendeteksi berita dan memproduksi video," tulis Fanta. "Bahkan,
memfasilitasi kerja jurnalis investigasi dan bentuk lain dari Data-Driven
Journalism," tandasnya lagi.
Pemanfaatan teknologi komputer dalam
proses jurnalisme sebenarnya bukan barang baru bagi para awak media. James
Foust dalam bukunya Online Journalism: Principles and Practices of News for The
Web menyebut fenomena ini sebagai Computer-Assisted Reporting (CAR). Aktivitas
ini merujuk kepada penggunaan komputer untuk meningkatkan kualitas jurnalisme,
termasuk menggali segala sumber yang tersedia online.
Robo-Journalism sendiri merupakan bentuk
lanjutan dari CAR. Kekuatan utama di balik fenomena ini adalah basis data yang
baik. Di banyak negara di Eropa dan Amerika Serikat, banyak sektor kehidupan
sudah memiliki basis data yang mumpuni. Mulai dari sektor olah-raga, bencana
alam, sampai keuangan dan pemerintahan. Hal ini memungkinkan berkembangnya
inovasi big data di negara-negara tersebut, termasuk Robo-Journalism.
Dari sisi jurnalis, Robo-Journalism bisa
jadi sangat membantu pekerjaan mereka, alih-alih menggantikan peran mereka.
"Teknologi ini tidak menyisihkan pekerjaan siapa pun sebanyak teknologi
ini membuat pekerjaan siapa pun menjadi lebih menarik," ungkap Ken
Scwencke dalam Slate.com. Scwencke sendiri merupakan jurnalis sekaligus
programmer di balik Robo-Journalism berjuluk Quakeboot di Los Angeles Times.
Senada dengan Scwencke, Scot Gillespie,
Chief Technology Officer di Washington Post, dalam medianya, menilai bahwa
teknologi Robo-Journalism memperluas jangkauan para jurnalis sekaligus membantu
mereka untuk fokus ke laporan-laporan yang lebih mendalam. "Perangkat ini
membantu redaksi untuk lebih produktif, menceritakan lebih banyak kisah, dan
meraih audiens yang lebih luas," ungkap Gillespie dalam Washingtonpost.com.
Lebih lanjut, Alexander Fanta, dalam
jurnalnya, menyebutkan bahwa keinginan membuat produk baru menjadi motivasi
para media untuk membangun automatisasi konten di ruang redaksinya, alih-alih
memotong biaya pegawai. Bahkan, mereka harus mengeluarkan biaya yang tinggi
guna menerapkan teknologi Robo-Journalism. "Bila anda mengotomatisasi
(konten), hal ini akan menghabiskan uang anda," ungkap Reg Chua dari
Reuteurs, sebagaimana ditulis oleh Fanta.
Teknologi Robo-Journalism sebenarnya
sudah ada sejak awal milenium ketiga. Bahkan, beberapa awak media sudah mulai
mengembangkannya sejak awal tahun 2000 silam. "Hanya saja, industri
(media) terlalu lambat untuk mengambil inovasi dalam bidang digital,"
sahut Paul Maidment, Direktur Analisis dan Editor Pengarah di Oxford Analytica.
Komentar
Posting Komentar