Tentang Seniman dan Karya Yang Puitis Sekaligus Ironis ( Prolog)
Belakangan ini, gue sedang amat menggandrungi
lagu berjudul Secukupnya dari Hindia. Yang tentu saja bila tanpa film Nanti
Kita Cerita Tentang Hari Ini, gue takan pernah mengetahui bahwa di planet ini
ada judul lagu seperti itu. Karena, ya
Tuhan. Jangankan Judul lagunya, penyanyinya saja gue pun sama sekali awam.
Sebenarnya,
ada dua original soundtrack pamungkas dari NKCTHI yang disutradari oleh
mas Angga ini. Kala tensi cerita sedang
galau-galaunya, lagu Pejalan akan muncul sebagai latar kesedihan yang mengiringi
setiap karakter.
Lantas
jika tokoh utama sudah terlanjur jenuh dan muak dengan takdir ‘ Tuhan kecil’ mereka dalam film, yang terjadi selanjutnya
adalah bergemanya lagu Hindia berjudul Secukupnya mulai mengambil alih.
Wah,
jika dipikir sekarang. Itu lagu memang sangat menyenangkan untuk didengar,
apalagi kalau pakai semua sistim audio Bioskop. Jadi ngidam deh, beli satu
tiket nonton Cuma buat denger lagu itu lagi di sana. Haha
Yang
akan gue bahas kali ini adalah seberapa dalam makna lagu yang kedua grup ini
ingin sampaikan kepada pendengarnya. Kedua lagu ini menjadi unik ketika kini
semua lagu hits terasa sekadar kombinasi music dan lirik tanpa makna semata.
Sebagai
contoh, dalam lagu Hindia ; Secukupnya sudah cukup menjelaskan keadaan manusia
zaman sekarang. Gue terkesan, bagaimana mungkin seorang manusia dapat
menciptakan sebuah lagu yang berasal murni dari keresahannya? Maksud gue, kenapa
bisa pas banget gitu dengan keadaan saat ini?
Berikut
ini adalah potongan lirik lagunya :
Tubuh yang berpatah
hati
Bergantung pada gaji
Berlomba jadi asri
Mengais validasi
Bergantung pada gaji
Berlomba jadi asri
Mengais validasi
Manusiawi sekali, bukan?
Nah,
kalau ngomongin tentang seniman nih. Jadi, menurutmu agar bisa disebut sebagai
seorang seniman apakah yang seharusnya dilakukan oleh seseorang?
Kalau
menurut gue pribadi sih, jadi seniman itu enggak sekadar harus berbakat
menciptakan sesuatu saja. Penulis yang tulisannya bagus, tapi tanpa makna dan
mudah dilupakan, buat apa? Musisi yang jago sekali meracik alunan music dicampur
lirik kekinian, namun gagal tersemat di hati pendengarnya, percuma saja. Atau
pembuat film dengan berjuta keahlian mengambil gambar, tetapi filmnya hambar
bak sayur kurang garam, aduh kelaut saja deh !
Menggenggam
prestasi dan popularitas boleh jadi tolok ukur seorang seniman sukses. Namun lebih
dari itu, sebuah karya haruslah
menghubungkan antara penciptanya dengan penikmat. Bila karya itu mengenai lagu,
maka si pencipta harus berusaha berkomunikasi lewat lirik-liriknya. Bila
tentang film, sutradara juga wajib menyisipkan pesan moral disetiap adegannya
sebagai Bahasa.
Bagi
gue, Tulus, Doel Sumbang, Hindia, dan Sisir Tanah adalah sebagian kecil musisi yang karyanya
mampu menerkam rasa dan karsa para
penikmatnya.
Lagu
mereka sangat dalam dengan lirik yang puitis dan ironis dalam satu waktu.
Menjadi
candu setiap pagi menyingsing, menetralisir penat di penghujung senja.
Walau
nyatanya, miris ketika beberapa diantaranya masih tak punya nama untuk bebas
berkelana. Sepilu untaian kata yang dicipta.
Udah
sih, gitu aja. Gak penting kan? Gak jelas kan?
Komentar
Posting Komentar