BUKAN MAUT, INILAH YANG MEMISAHKAN PARA BESTIE
Aku
punya ingatan tentang hujan. Selain aroma tanah yang terbasi olehnya dan seketika
menenangkan. Kenangan masa kecil juga
selalu hadir begitu air langit itu jatuh kebumi. Menghantarkan kilasan ingatan
yang mungkin telah lama terkubur. Yakni tentang persahabatan.
Dulu,
aku selalu merengek minta diizinkan main hujan-hujanan di halaman rumah. Saat
itu rumah masih dalam kondisi setengah selesai, sehingga beberapa bagian rumah
memang dibiarkan lapang tanpa satupun aksesoris maupun gaya taman minimalis
seperti sekarang.
Jika
hujan deras, maka akan ada satu spot yang berubah menjadi kolam kecil.
Disanalah biasanya aku menghabiskan waktu untuk berenang, ditemani cacing tanah
yang terbawa arus, atau mungkin para ulat bulu yang berasal dari koleksi
tanaman mendiang Ibuku.
Merasa
tidak seru, akupun memutuskan untuk berlari ke suatu tempat. Serius, rasanya
seperti tengah berada dalam film india. Bulir air yang jatuh menampari kulit
justru terasa candu. Rasa dingin yang menusuk sama sekali tak berarti apapun.
Aku begitu bahagia.
Tujuanku
terpusat pada rumah yang hanya berjarak sepuluh langkah dari rumahku. Mungkin
kalau hanya berteriak sekalipun, orang yang ku maksud juga bakal muncul. Tetapi
aku memutuskan untuk menghampirinya langsung saja.
Dia
adalah sahabatku sejak lahir, orang tua kami sudah bersahabat sejak remaja.
Bapakku dan Bapaknya dikenal dekat dan berteman rukun, masa muda mereka yang
gaul membuat hubungan persahabatan itu terjalin erat, dari bujang hingga punya
anak.
Aku
menungguinya meminta izin dari Ibunya. Lalu beberapa menit kemudian sahabatku
itu keluar rumah sudah dengan satu lapis baju dalam yang tipis saja. Itu
artinya, waktu bagi kami bermain hujan-hujanan telah legal.
Keceriaan
mewarnai kebersamaan kami. Jejak kaki mungil menapaki setiap tikungan dan sudut
gang kampung, sesekali kami bertemu dengan gerombolan anak kecil lelaki yang
tinggal berbeda rukun tetangga dengan kami. Mereka sangat nakal, serius. Jadi
kami memutuskan untuk menjauh dari mereka jika tak ingin berakhir menangis
karena ditimpuk bundelan tanah basah.
Satu
jam kemudian, aku mendengar Ibuku berseru dari kejauhan. Air hujan sudah reda
sejak lama. Ibuku memanggil kami, berharap kami mengakhiri permainan tiada
batas ini. Sudah beberapa jam kami main hujan-hujanan diluar. Bahkan, aku tak
sadar bahwa bibirku sudah membiru, jemariku mengerut seperti nenek-nenek.
Apalagi sahabatku, dia terlihat gemetar hebat.
Untuk
anak berusia enam tahun, kebahagiaan sejati mungkin hanya sebatas bermain hujan
bersama sahabat paling dicintainya. Dunia seolah begitu indah ditinjau dari
sudut manapun. Keluhan tak pernah muncul ke permukaan. Kami adalah makhluk
paling bahagia.
Di
rumah, Ibuku sudah menyiapkan air hangat bakal mandi. Juga satu porsi sayur
bening mendidih. Hanya dengan satu sendok, Ibu menyuapi kami bergiliran setelah
memandikan dua anak nakal ini. Tetapi baru saja membuka mulut untuk suapan
ke-tiga, aku mulai merasa tak enak badan, seperti cacing kepanasan, aku
menggeliat, permukaan kulit punggungku panas sekali, aku menangis. Rupanya
Ibuku terlalu banyak meluluriku dengan minyak geliga yang panas. Lucunya,
ternyata sahabatku juga bernasib sama.
Kami
menertawakan hal itu setelah sepuluh tahun berlalu. Lucu sekali rasanya jika
dikisahkan setelah kami berdua menginjak dewasa. Masing-masing dari kami masih
menyimpan memori itu dengan baik.
Kini
usiaku sendiri sudah memasuki rentang hidup serius. Sudah saatnya aku
mendapatkan pekerjaan. Bekerja untuk sebuah perusahaan jasa tulis menulis, atau
minimal punya pekerjaan lapangan mencari berita. Tetapi nyatanya aku masih di
rumah untuk mengerjakan skripsi. Dan itu membuatku agak insekyur sekaligus
frustrasi.
Sahabatku
bernama Krystyn Nurhayati. Ia sudah menikah, berkeluarga, dan punya seorang
anak perempuan yang gue enggak nyangka bisa secantik itu. Hahaha
Aku
mengamati kehidupannya saat ini. Ia hidup dengan serius, membangun keluarga
yang sakinah, mawadah, warahmah. Beberapa hari lalu, bahkan dirinya sudah
tahfidz. Hapal 30 juz adalah level tertinggi keshalihahan seorang muslimah.
Jujur aku iri padanya. Mengapa kehidupanku kini sangat bertolak belakang
dengannya? Jika dia begitu, maka aku pasti begini.
Ketika
tulisan ini aku posting dalam konten relung sukma, itu artinya usia persahabatan
kami sudah menginjak 19 tahun. Bukan waktu yang singkat, bukan? Selama itulah
kami saling mengenal dan melengkapi, meski tidak selalu.
Tetapi, sahabatku ini adalah yang terbaik
dalam segala hal. Aku sangat menyayanginya hingga merasa tak ingin
kehilangannya dalam bentuk apapun. Bahkan ketika ia memutuskan untuk dinikahi
seorang pujangga, aku sempat khawatir akan keputusan-keputusannya di usia muda.
Begitupun dengan hubungan kami, misalnya, pertanyaan random kemudian muncul.
Apakah setelah menikah, kami akan tetap mudah untuk
hangout bersama? Ngobrol berjam-jam? Melakukan keseruan bersama sebagai bestie?
Jawabannya adalah, tidak.
Setelah menikah, dunia kami sudah tak lagi sama. Dia
sibuk dengan ibadahnya sebagai seorang istri dan Ibu terbaik. Serasa ada penyekat diantara aku dan dia,
batasan waktu, dan hak-hak yang kini harus selalu ada campur tangan suami.
Terkadang aku menganggap itu sebagai sebuah ke-uwuan khas pernikahan baru.
Tetapi ada saatnya juga aku merasa seperti seseorang telah memisahkan kami.
Hahahaha
Dari kejauhan aku senang melihat kabahagiaan sahabatku
dengan kehidupannya yang dimataku begitu sempurna. Namun di sisi lain, apakah
inilah hal yang lantas lebih mengerikan dari sekadar maut yang memisahkan??
Bahkan untuk membalas teks saja terkadang kami lupa. Aku hanya berharap
beberapa foto keponakanku alih-alih berkomunikasi secara intens. Itu saja sudah
cukup.
Dear, my bestie. Jika kamu sedang membaca postinganku
ini. Terimakasih sudah menjadi sahabat terlamaku. Aku menyangimu dari sejak
lima tahun, hingga kini. Kita adalah sahabat, sampai mati. Minalaidzin
Wafaidzin. Maafkan segala kesalahanku baik dalam kata maupun perbuatan.
Komentar
Posting Komentar