MENJADI GADIS KAMPUNG YANG BERBEDA
Belakangan ini pikiranku sering terganggu. Disaat teman seusiaku sudah menimang anak, bertunangan, dan lulus kuliah. Aku masih begini-begini saja. Menggarap skripsi seingatnya, berusaha berkutat dengan rumusan masalah penelitian yang bahkan terkadang aku bingung mengapa bisa mengajukan tema tersebut? Sialan.
Apalagi sekarang juga sudah banyak hal yang menjadi konten tiktok dengan tema pencapaian di usia 20 tahun. Dan ketika ingin join trend, aku tercenung lama. Barangkali pencapaian yang telah ku lakukan, bagi orang lain mungkin bukan apa-apa. Jadi malah takut dibully. Sebab kebanggaan orang itu berbeda. Ada yang dari segi ekonomi, tahta, dan jodoh. Kalau aku sih, enggak ketiganya. Hanya saja, ada satu dua hal yang bagi aku begitu berharga karena sudah berhasil aku dapatkan dalam hidup ini. Tapi beneran sih. Aku sadar juga. Tidak ada pencapaian yang bisa aku spill. Sedih dah.
Kehidupanku ini hanya berpusat pada khayalan. Perjuangan yang semu terkadang juga menjadi alasan mengapa aku masih hidup meski dalam keseharian, rasanya begitu hambar dan membingungkan.
Walau aku tahu sedang tersesat, tetapi setidaknya aku menyadari bahwa berputus asa bukanlah jalan keluar yang tepat. Gila kali? Aku sudah menghabiskan waktu nyaris lima tahun untuk studiku ini, belum lagi uang puluhan juta yang sudah ku keluarkan untuk sepuluh semester tidak berguna. Malu sih kalau harus menyerah.
Ohya, ngomong-ngomong aku ini memang sangat jarang bangga terhadap diri sendiri. Karena sejak remaja konsep diriku sudah negatif. Dan saat inipun aku akui, itu sangat sulit diubah. Tidak bisa lantas kupaksakan untuk menjadi sosok pribadi yang penuh bualan berserta kata-kata motivasi yang seringkali kuposting kalau sedang galau atau justru postingan bahagia.
Jujur aku ingin hidup apa adanya. Dengan segala kemelut dalam otak dan hatiku. Tidak bisakah kita hidup apa adanya? Jika kita buruk dalam suatu hal, maka hanya tinggal perbaiki hal tersebut. Tanpa perlu membuat kita harus sesuai dengan ekspektasi orang lain. Setidaknya, hingga kita merasa bahwa itu sudah cukup. Titik.
Beberapa hari terakhir, tak bisa kupungkiri bahwa aku memang sering membandingkan tingkat pencapaian hidupku dengan orang lain. Baik dengan teman dekat, maupun orang asing yang kutemui di media sosial.
Mereka sangat keren, jujur aku kagum dengan pencapaian mereka semua. Tapi aku gak pernah iri, kepada pencapaian mereka. Kenapa? Karena mereka punya perjuangan yang panjang, dan dalam waktu yang sama, aku menyadari bahwa perjuanganku belum sekeras milik mereka. Bahkan aku tak paham harus sekeras apa perjuangan ini agar dapat bersanding dengan mereka?
Aku hanya berjalan dengan lambat. Satu hari berlari tergopoh-gopoh. Dilain waktu, aku hanya merangkak. Namun aku tak pernah memungkiri bahwa aku lelah, meski dalam hati juga aku merasa itu sudah sangat cukup bagiku. Ketertinggalan yang mutlak. Apa adanya. Kuterima begitu saja tanpa sedikitpun merasa insekyur.
Lalu, semuanya langsung ambyar pada suatu hari. Konsep keyakinan untuk diriku menjadi sukses, yang selama ini kupertahankan dengan baik. Kurawat dengan sepenuh hati , rusak manakala melihat sahabatku sendiri telah dilamar seorang pemuda pemberani.
Pemuda itu datang bersama keluarga besarnya, membawa hantaran mewah dan sebuah cincin mengkilat. Ia dengan gagah berani menautkan cincin di jari manis sahabatku. Demi Tuhan, pada saat itu aku terharu karena ternyata sahabatku sudah diberikan jodoh terbaik oleh Allah S.W.T dengan segala rasa sakit yang pernah dirinya alami kemarin sore. Tak pernah sedetikpun aku iri, semisal muncul pertanyaan lalu kapan aku menikah? Pertanyaan tersebut tidak pernah terbersit !
Tapi aku sedih dalam sudut pandang berbeda. Bukan tentang mengapa jodohku belum datang, atau skripsi usai, atau lagi CV-ku diterima dengan positif. Segala keresahanku hanya tentang impian-impian yang selama ini aku bangun. Tentang aku yang sangat ingin bekerja di depan komputer saja, mengetik ini-itu, tetapi gaji masuk. Morning coffe. Dan camilan premium. Hanya seputaran itu saja yang kupikirkan.
Yang membuat hari itu menghancurkanku adalah, disaat sahabat dan teman seangkatanku telah berada dalam jenjang kehidupan yang matang. Lihatlah, aku masih berkutat dengan bias khayalan. Menangis begitu biasku dilaporkan dating. Menangis karena biasku kena skandal. Meleyot saat ketampanan bias. Menyedihkan sekali bukan?
Aku manangis ketika semua kesenangan gue menjadi perbandingan yang sangat kontras dan menyedihkan, dimata orang lain misalnya. Dimata mereka aku seringkali melakukan hal tidak berguna, kekanakan. Padahal, iya sih. Nah, karena itulah aku menangis. Haha
Pada suatu malam, aku pernah berpikir aneh. Tentang bisakah kita hidup hanya sebatas hidup? Menafkahi diri sendiri, bekerja pabrik, menemukan jodoh, lalu menikah? Lalu berjualan seblak atau jadi reseller baju. Seperti yang sering dilakukan gadis di desaku? Ketika terpuruk dalam ekspektasi demi menjadi manusia yang layak. Aku terkadang memikirkan itu. Bagaimana jadinya jika dulu aku memutuskan untuk tidak kuliah, dan bekerja saja? Tanpa perlu malu kepada sepupuku yang mayoritas memang anak kuliahan.
Aku hanya ingin hidup sederhana. Tanpa banyak drama kehidupan. Hidup sendiri, meski menyedihkan. Kupikir terkadang lebih baik dibandingkan harus bertengkar dengan individu lain. Tanpa harus merasa tidak enak sudah menyakiti perasaan orang yang akan menjadi suamiku. Tidak perlu ikut ke rumah keluarganya. Tak perlu pura-pura suka anak kecil. Morning coffe, sama apa kek gitu yang manis-manis. Kerja. Pulang. Nonton sambil makan. Rebahan. Weekend nongkrong di perpus pribadi. Udah begitu doang. Gak boleh ya? Gak normal? Aneh?
Komentar
Posting Komentar