Kemenangan Yang Luput Kumenangkan
Konon,
jika kita merasa kurang antusias atau malah merasa biasa saja menghadapi Ramadhan.
Dapat dipastikan bahwa iman kita sebagai hamba
kepada Tuhannya, tengah lemah atau bahkan hilang sama sekali.
Ketika mendengar pernyataan itu
keluar dari mulut Ustad Hannan Attaki, hatiku tersentil, aku malu mendengarnya,
padahal mungkin saja pernyataan tersebut sama sekali bukan tertuju padaku.
Tetapi hati ini merasa demikian. Rasanya semua kalimat benar-benar
tertuju untukku.
Tetapi demi-NYA, aku antusias
menyambut bulan puasa. Meski dengan segala drama yang akan hadir selama proses
penyambutannya, aku tak pernah sekalipun mengkhianati bulan puasa dengan
berusaha menjauhi atau menolak kedatangannya. Jujur, aku senantiasa antusias.
Yang membuatku selalu merasa
sedih menyambut Ramadhan, hanya satu. Kalau enggak puasa sendirian, ya pasti
karena ingat segala momentum ramadhan bersama mendiang Ibuku. Sudah, itu saja.
Masalah keimanan yang menurut, lagipula imanku tak pernah berada dipuncak.
Aku menjalani satu bulan penuh
dengan perasaan yang biasa saja. Tidak sedih, juga tak terlalu bahagia banget.
Secukupnya, menikmati saja kondisi yang ada. Barangkali, kesunyian sesekali
membuat suasana rumah jadi nampak menyedihkan. Dan aku merasa payah ketika
merasa kesepian. Aku lantas menangis, dan itu kembali normal saat mood
baik kembali merasuki.
Di rentang usia yang sudah tua
begini. Aku mulai menghentikan kegiatan khayal berkhayal yang kutahu takan pernah
tergapai meski air mataku berubah menjadi darah.
“Andai aku bisa kembali ke masa
lalu, satu hari saja menjalani ramadhan bersama ibuku lagi.”
“Jika boleh, aku ingin membayar
berapapun atau bertaruh apapun untuk bisa hidup bersama Ibuku lagi meski hanya
satu hari.”
Pemikiran demikian telah
kutebasi sejak lama. Aku lelah hanya dengan membayangkan kebahagiaan yang
berlanjut pada kesedihan tak berujung. Rasanya seperti sedang berjudi. Menanam
kebahagiaan yang tidak pernah nyata.
Bulan puasa tahun ini aku tak
terlalu kalah, biasa saja sih. Standart, orang-orang muslim dengan
kewajibannya. Tetapi, untuk hari raya sendiri. Gue sempat tercenung lama.
Ketika A Kiki bertakbir, hingga pada A
Indra mengimami shalat sunat. Aku masih mencari alasan mengapa diriku berada di
antara para jamaah idul fitri? Maksudku, aku ini menang dari apa? Apa
kemenangan yang sedang kuraih?
Puasaku biasa saja, tadarusku hanya beberapa ayat sekali, sahurku
ditemani series homo, terawihku selalu diakhir waktu, juga demikian dengan
sepuluh hari ramadhan yang ternyata aku malah dapat tamu menyebalkan. Jika
begini, seriusan deh. Aku memenangkan apa? Toh hawa nafsuku pun kadang meledak.
Kesabaran yang terbatas. Keburukan yang meluap.
Penyesalan hadir sebagai hadiah
di hari raya yang tidak terlalu membahagiakan. Rasanya aku seperti orang yang
tersesat saat sedang menuju ke suatu tempat. Tidak seorangpun yang bisa
menolongku kecuali Allah dan sebersit cahaya dalam hati.
Ya Allah. Sinarilah hariku
dengan rahmatmu. Selalu dekatnlah hatiku
hanya untukmu. Taklukanlah hatiku hanya untuk kebaikan dalam hidup. Luluhkanlah
hatiku kepada lelaki yang benar-benar nyata. Putuskanlah rasa sukaku untuk Phi
Tay dan Phi Sing. Akhiri semua ini ya Rabb. Pertemukanlah aku dengan Ramadhanmu
tahun depan. Menangkanlah aku dalam pertempuran kebaikan. Aamin
Komentar
Posting Komentar